Tuesday, July 05, 2005

The Pesimist

2 Bulan hidup di Jakarta bisa bikin hampir gila. Mungkin puncaknya adalah saat saya tumbang terserang flu berat karena "homesick" kayanya sih. Dipikir-pikir, betapa hebatnya sebagian besar teman saya yang memilih berjuang di Jakarta. Biaya kos, makan dan ongkos hampir dua kali lipat Bandung. Oh.. bukan itu masalahnya. Orang yang berduit pun harus menghadapi macet, bising dan sesaknya udara (saat keluar dari mobil ber-ACnya) Ibu Kota.
........
Naik-turun meloncati bis-bis yang tidak direm sempurna dan benar-benar menepi, membuat saya merasa seperti koboy jagoan yang sama sekali tidak keren. Terjebak kemacetan bersama bisingnya metro mini, kopaja dan bajaj, ingin rasanya menjerit stress..tapi hadapilah sayang, inilah tantangan kehidupan. Hanya 2 bulan..hanya 2 bulan..

Kadang tergoda juga saya untuk menaklukkan jakarta. (Katanya) kita tidak bisa maju jika hidup di kota Bandung. (Katanya) Jakarta adalah tempat mengembangkan diri, untuk orang-orang yang ingin maju. Selain itu, semakin lama kesepian juga tertinggal di Bandung. Tapi dengan berada di jakarta pergaulan dan interaksi kita menjadi agak terbatas. Ini tentu akibat masalah mobilitas. Jauhnya jarak tempat tinggal membuat hampir tidak mungkin untuk saling mengunjungi teman, kecuali benar-benar punya waktu luang yang cukup. Alternatif untuk bertemu adalah janjian di mall-mall yang cukup strategis, berkeliling di dalamnya, atau ngafe entah di mana. Tidak menarik. Sebutlah saya lemah.

Ternyata, ketika kembali ke Bandung, saya juga menemukan beberapa hal yang cukup membuat "frustrasi". Paspati yang megah sudah dioperasikan. Sekitar tempat mendaratnya di jalan suci dilakukan penyesuaian jalur. Kendaraan-kendaraan harus berputar-putar demi (katanya) menghindari kemacetan. Dengandemikian, lampu merah di prapatan2 sekitar gasibu tidak perlu dioperasikan selain kerlap-kerlip lampu kuningnya. Alur kendaraan terus bergerak. Lalu, bagaimana kami menyeberang?

Pohon-pohon angsana yang menaungi jalan surapati dengan lorong dedaunannya ditebangi. Dibabat mendadak, mulai dari depan jalan masuk ke kompleks tempat saya tinggal. Memang bayi-bayi pohon pengganti (yang jumlahnya tak seimbang dengan yang ditebang) telah ditanami. Tetapi, dengan rencana pelebaran jalan yang sepertinya akan segera dilakukan, berapa lama lagi jalan ini menjadi jalan raya teduh di bawah atap dedaunan yang sangat saya banggakan...

Kini saya hanya bisa menghela nafas panjaaang...menikmati udara Bandung (yang bagaimanapun masih jauh lebih segar) dan sedikit kelegaan. Mungkin saya akan kembali ke jakarta, bergabung dengan pola hidup seperti teman-teman yang lain sampai lama-lama saya pun bisa menikmatinya dengan menghargai kebahagiaan sekecil apapun yang ditemukan dalam keadaan seburuk apapun. Atau saya masih akan bertahan sambil melihat Bandung yang terus berubah.
Apapun, OPTIMIS DONG!!!!