Wednesday, November 15, 2006

The Departed & IA

Infernal Affairs fans claim The Departed as a failure. The Departed fans who definitely watch it before the original work, claim Infernal Affairs as a slow, boring and sappy movie. I like both movies. For sure, each of them have their own unique style, despite the remaining questions: Why remake? Does Scorsese really deserve an Oscar for this one, not for his other works? Why don’t they make they own story?
Well, the answers are just what we already knew.... They already run out of ideas and the Academy Award was political as always. I think they won’t let Babel, (a much, much better and unique story in my opinion) with the Mexican director won, and Scorsese had missed some Oscars he deserved for his previous movie.
Though I like both movies, Infernal Affairs is the special one. And this song is one of the reasons that make Infernal Affairs better than the remake. This is the background song for the most tragic and painful death scenes I ever seen in a movie. Just.. tragic and painful. The Departed doesn’t have this kind of mood.

Thursday, November 09, 2006

The Remake


Kunjungan terbaru ke bioskop: bersama bambumuda nonton “The Departed”.
Tentunya film ini sudah cukup menarik dengan title Directed by Martin Scorsese dan ada Jack Nicholson. (Leonardo dan Matt Damon mah.. hmm…).

Waktu tahu kalau film ini adalah remake dari trilogi “Infernal Affairs”, saya jadi makin antusias dan excited. Penasaran habis-habisan(bertolak belakang dari waktu mendapat berita remake The Ring)! Dari awal bertekad membuat resensi perbandingannya, tapi malah lambat banget, keduluan si Hyoutan, materinya sama, dan jadinya cuma macam begini:

Hasil menonton The Departed di Blitz Megaplex (sekalian promosi):
SUKA BUANGETT SEKALI PISAN!!

Bagi saya, trilogi Infernal Affairs adalah “The Ultimate Hongkong Style” (apa maksutnya yah.. ) yang sangat saya rindukan. Dengan segala intrik, dilema, konflik emosional, ketegangan, dan tak perlu disebut lagi para pemerannya yang ganteng, karismatik, tambah lagi sinematografi dan soundtracknya. Serba hebat pada kesan pertama, tapi merupakan tipe film yang menuntut pengumpulan kekuatan lagi untuk menontonnya, karena cerita yang sangat bikin senewennnnn, walaupun sekaligus juga membuat rindu.

Dan versi Martin Scorsese, punya gayanya sendiri. Yah, dia punya gaya yang memikat dalam karya-karyanya. Cukup konsisten dan membawa karakter sendiri yang berbeda dari versi HongKong.

............................
Tapi tentu saja bagimanapun, aku jauh lebih cinta versi aslinya, dengan alasan-alasan berikut:

1. Tony Leung (sebagai Yan Chan Wing) dan Andy Lau (sebagai Ming Lau Kin)! Mereka jelas sangat sesuai dengan karakter masing-masing di fim itu, selain berpengalaman untuk peran dan film semacam ini dan jam terbang mereka di pefilman Hongkong yang sangat menguji bakat dan ketabahan untuk mematangkan kualitas akting. Anthony Wong dan Eric Tsang sangat karismatik dan juga tidak diragukan lagi, sangat tepat untuk karakter yang diperankan masing2. Jack Nicholson seperti biasa tampil berkharisma, Martin Sheen terlalu tua, Di Caprio dan Matt Damon rasanya hambar dan tidak indah di mata (subjektif pisan)

2. Sinematografi karya Andrew Lau dan Christopher Doyle.. gak ada matinye dah! Indah, mencekam, menggetarkan, dengan frame-frame kojo yang khas. Versi Scorsese: Beda gaya, tidak indah tapi lebih membumi dan lebih terasa kekerasannya.

3. Konflik emosional yang terbangun. Dalam The Departed (T.D.), ada isu2 yang hanya selintas seperti krisis identitas kedua tokoh. Padahal dalam Infernal Affairs ( I.A.) tokoh Ming terlihat tenggelam dalam dilema antara keinginan eksis sebagai polisi dan tugas penyamarannya sebagai mata-mata para gangster. Pada Colin (Matt Damon) tidak terlalu terlihat. Demikian juga dilema pada tokoh Yan yang terlalu lama menyamar dan menjadi orang kepercayaan Sam, kepala triad. Tokoh William/ Billy (Leonardo DiCaprio) terasa lebih tersorot daripada karakter Colin, namun masih terasa jauh daripada karakter yang ditampilkan Tony Leung. Salah satu penyebabnya mungkin karena T.D. terlalu dipadatkan untuk mencakup keseluruhan tiga film I.A.

4. SUSPENSE!!! Sekali lagi, mungkin karena waktunya tidak cukup, adegan-adengan andalan menegangkan tidak terfasilitasi di T.D., seperti waktu rombongan triad dibuntuti para polisi.

5. Tokoh wanita!! Di T.D., Colin dan William tertarik dan terlibat dengan wanita yang sama. Mungkin maksudnya membuat keterkaitan antara kedua tokoh itu, yang tidak diperlihatkan pernah bertemu sebelumnya, apalagi berkomunikasi. Hal ini sebetulnya tidak begitu penting. Dalam I.A., para tokoh wanita tampil hanya sebagai "pelengkap" kisah kehidupan Yan dan Ming yang termasuk dalam skenario film. . Infernal Affairs, menampilkan Yan dan Ming sebagai tipe pria yang terhanyut sekaligus terjebak dalam tugas. Karena itu, memang tidak perlu kalau kisah cinta mengambil porsi yang besar dalam film ini, walaupun tetap ada dan masing-masing memiliki pasangannya dengan masalah yang berbeda. Keterkaitan antara Yan dan Ming sudah terasa dalam adegan-adegan di akademi kepolisian, walaupun tanpa ada kontak langsung antara mereka berdua
di masa itu.
..................................

Kesimpulannya, menonton The Departed di bioskop sangat tidak mengecewakan. Membandingkan The Departed dan Infernal Affairs adalah hal yang menyenangkan. Sayangnya, aksi pihak Hollywood yang sudah kehabisan cerita dan semakin sering (sepertinya dari dulu juga sudah banyak dilakukan) meremake film-film negara lain, terutama dari Asia, membuat pembatasan wawasan budaya baik bagi bangsanya sendiri, bangsa-bangsa lain, terutama bangsa-bangsa korban budaya Amerika (termasuk Indonesia).

Kenapa di Amerika film The Departed dipuja-puji, malah banyak yang menganggap lebih bagus daripada versi Aslinya. Bagaimana nilai untuk ide cerita dan konflik serta intrik super canggih yang tidak akan ada di film mafia Hollywood manapun, bahkan di karya Scorsese dan Coppola sekalipun?

The Ring hollywood begitu dikagumi sebagai film horor yang sangat menegangkan dan berbeda dari bisanya. Please deh, yang membuatnya berbeda adalah keunikan cerita dan gaya horor yang asalnya dari manaaaa???? Tambah lagi, The Ring Amerika memiliki kesalahan fatal yang merusak keistimewaan horor unik trilogi The Ring Jepang.

NB: Jangan dilewatkan menonton prequel dan sequelnya Infernal Affairs juga !
biar lengkapp kapp

Wednesday, November 08, 2006

Janjimu..(ini judul memadu pisan)

Ekspektasi terlalu tinggi terhadap suatu film, mungkin akan membawa kekecewaan. Dan itu terjadi cukup sering, tapi tidak selalu.

Film The Promise mengandung janji. Salah satu sutradara favorit, aktor favorit, dan mimpi big budget. Tapi, karena khawatir kecewa, ketika gaungnya film itu tidak terlalu terasa setelah releasenya, saya tidak begitu bersemangat juga walaupun tetap penasaran. Dan, ketika akhirnya bisa menyempatkan waktu menontonnya....


Konon, sang sutradara berniat untuk membuat film epic fantasy penuh action, yang tetap memiliki esensi cerita yang menyentuh. Ternyata, film ini didera banyak kritik. Mungkin karena high expectation tadi. Pertama, efek-efek CGI yang gagal. Kedua, ada juga yang mencela kemunculan aktor tertentu di film itu. Lalu yang ketiga, ceritanya juga tidak semenyentuh yang diharapkan, apalagi dengan action2 yang ada. Really?

Ternyata, menurut saya sih tidak seperti itu. Memang, animasi CGI yang ada agak merusak keindahan gambar2 yang seharusnya muncul. Ah, itu Cuma masalah ketertinggalan teknologi. Lalu, setelah mendalami lebih jauh..... Yep! LLLLLOOOOVING IT! Bagi saya, tidak seperti film House of Flying Dagger, The Promise justru bisa membekas di pikiran, dan menimbulkan keinginan menontonnya beberapa kali.

Wu ji

The Promise (International: English title) (Singapore: English title)

Master of the Crimson Armor (USA) (pre-release title)
Mo gik (Hong Kong: Cantonese title)

Directed by
Kaige Chen

Writing credits
Kaige Chen

Credited cast:

Dong-Kun Jang .... Kunlun
Hiroyuki Sanada .... General Guangming
Cecilia Cheung .... Princess Qingcheng
Nicholas Tse .... Wuhuan
Ye Liu .... Snow Wolf
Hong Chen .... Goddess Manshen
Cheng Qian .... The Emperor

Anthony Wong .... (voice)


Di sebuah negeri antah berantah, di jaman entah kapan, seorang jenderal ternama Guang Ming (Hiroyuki Sanada) yang terkenal sebagai tentara berdarah dingin dan dijuluki Master of the Crimson Armour* (* baju perang kehormatan Sang Jenderal), yang dapat mengorbankan apa saja demi membuka jalan kemenangan perang, membuat taruhan dengan seorang jin/ peri/ dewi(??) yang tampaknya punya hobi iseng mengusik kehidupan manusia. Guang Ming yang tidak percaya akan visi takdirnya yang diperlihatkan sang dewi, yakin bahwa ia mampu merubahnya. Namun ia mengambil jalan yang salah untuk memenangi taruhan tersebut. Guang Ming mengirim budaknya, Kun Lun (Jang Don Gun), untuk suatu misi menyelamatkan raja, yang malah berakhir dengan Kun Lun membunuh raja yang tidak dikenalnya karena tampak sedang membahayakan Putri Qin Cheng, selir sang raja.


Cerita berlanjut dalam kompleksitas perasaan ketiga tokoh. Qin Cheng jatuh Cinta pada orang yang menyelamatkannya, yang ia kira adalah Jenderal Guang Ming dibalik crimson armour dan topengnya. Kun Lun yang berkali-kali terlibat misi penyelamatan putri, perlahan mulai memupuk perasaan cinta pada Putri tanpa ia pahami. Sementara Guang Ming, yang menjadikan Putri sebagai salah satu kemenangan baginya, terjebak pula dalam dilema kebohongan dan perasaan.


Saingan Guang Ming yang bermaksud merebut kekuasan setelah kematian Raja adalah seorang pemuda yang kejam, Wuhuan (Nicholas Tse). Ia berniat merebut Crimson Armour dari Guang Ming, dan juga tampak memiliki obsesi tersendiri terhadap Qin Cheng. Wuhuan memiliki kekuatan mengendalikan seorang pembunuh bayaran, Snow Wolf, yang ternyata berasal dari kampung halaman yang sama dengan Kun Lun. Usaha Snow Wolf membantu KunLun mengancam nyawanya sendiri. Konflik berkembang antara perebutan kekuasan, harga diri dan eksistensi.


Walaupun jalan ceritanya memang cenderung seperti dipaksakan, namun cukup bisa diterima dalam keterkaitan kejadian sebagai rangkaian masalah yang muncul. Kejadian demi kejadian, termasuk masa lalu yang dialami para tokoh bisa dipahami sebagai pengaruh yang mentransformasi karakter mereka. Terutama pada tokoh Guang Ming, Hiroyuki Sanada sangat cocok menampilkan sang Jenderal yang angkuh penuh wibawa sampai Guang Ming yang perlu diberi simpati namun masih memiliki dignity.


Nicholas Tse, yang lebih cocok tampil sebagai anak muda generasi 2000-an atau polisi keren, atau penyanyi idola, dengan kostumnya di film ini tampak super aneh dan bisa jadi bahan tertawaan. Bagaimanapun, ia tampil cukup berkarakter untuk perannya yang berbeda dari biasa ini, dan as charming as usual! Salah satu kekurangan justru pada pemeran putri Qin Cheng....Cecilia Cheung memang manis cantik dan lembut, lalu dapat pula tampak angkuh dan misterius. Tetapi, ia tidak cukup mampu menampilkan emosi yang seharusnya sangat kompleks pada Qin Cheng sehingga terasa kurang kuat untuk sampai pada penonton. Sebagai inti dari berbagai konflik dalam kisah ini, karakter Qin Cheng menjadi terasa hambar.


Dalam keabsurdan fantasi yang ada, mari mencoba mendalami esensi emosional yang ingin disampaikan. Kompleksitas perasaan para tokoh timbul tanpa jawaban yang pasti bagi para penonton. Salah satu ciri khas yang sering muncul di film Cina-Hong-Kong dan sebangsanya.


Dan itulah bagian yang paling saya suka.


Thursday, November 02, 2006