Wednesday, August 30, 2006

KSATRIA WANITA



Tadinya mau posting tulisan lama ini dalam rangka ikut menggaringkan hari Kartini dan isu-isu di belakangnya. Tapi ga penting, jadi ya mau apapun alasannya tetep aja diposting ah.. biarpun dah ketunda lama

PEKING OPERA BLUES
1984, HONG KONG. Starring Brigitte Lin, Cherie Chung, Sally Yeh, Wu Ma, Mark Cheung.

Directed by Tsui Hark.


Tersebutlah tiga orang wanita, tiga macam karakter dengan latar belakang dan impian masing-masing. Dalam waktu singkat, tanpa kesengajaan mereka saling mengenal dan menjadi tiga orang sahabat dengan satu tujuan yang sama.

Saat itu tahun 1913, dua tahun setelah keruntuhan kekaisaran Cina, kondisi politik masih tidak stabil. Para Jenderal di Peking berebut dominasi, dan Presiden saat itu - Presiden Yuan - memiliki maksud untuk menjadi penguasa permanen di negara itu dengan bantuan pihak asing.

Tsao Wan (Brigitte Lin) yang baru pulang dari sekolah di luar negeri adalah putri tunggal seorang Jenderal yang baru berkuasa di Peking di tengah gonjang-ganjing politik masa itu. Ia bergabung dengan kelompok gerilyawan revolusioner untuk membuktikan konspirasi yang dilakukan Presiden. Kunci dari misinya adalah mencuri sebuah dokumen penting dari tangan ayahnya sendiri, yang terlibat dalam konspirasi politik itu. Sheung Hung (Cherie Cheung) adalah anggota kelompok pemain musik keliling yang memanfaatkan kekacauan saat terjadi kudeta di istana jenderal untuk mencuri sekotak perhiasan, dan Pat Nell (Sally Yeh) adalah putri tunggal dari pemilik kelompok opera tradisional di Peking. Pat Nell yang dibesarkan bersama kelompok opera selalu ingin ambil bagian dari pertunjukan. Namun, ia harus mematuhi ayahnya yang selalu melarangnya dengan keras karena pada masa itu seorang wanita tidak boleh tampil di panggung –bahkan, menonton di gedung opera juga terlarang bagi wanita.

Berbagai kebetulan mempertemukan tiga wanita ini. Bersama seorang anggota golongan revolusioner, Pak Hoi (Mark Cheung), dan Tung Man --seorang mantan prajurit yang juga kebetulan bergabung— mereka saling membantu dalam pencurian dokumen penting itu. Tanpa sengaja, Sheung Hung dan Pat Nell ikut mengemban misi demokrasi yang dibawa Tsao Wan, sementara Tsao Wan juga membantu mereka dalam mewujudkan cita-cita pribadi mereka. Mereka sempat bertengkar hebat karena saling curiga, namun kembali saling menyelamatkan dalam misi yang penuh bahaya itu.

Film Peking Opera Blues mengangkat perjuangan dan keberanian dari para tokoh wanita untuk mewujudkan cita-citanya pada masa, tempat dan budaya yang begitu membatasi mereka.
Dalam segala keterbatasannya, ternyata wanita juga bisa memaksimalkan kekuatan dan kecerdasannya untuk mewujudkan tujuan.

Karakter pada ketiga tokoh mungkin terbentuk karena kehidupan yang lebih dekat dengan dunia pria. Tsao Wan dan Pat Nell adalah putri tunggal yang sudah tidak memiliki ibu, sehingga mereka banyak meneladani kehidupan ayahnya. Sheung Hung mungkin sudah lama hidup tanpa orang tua sehingga harus menjadi wanita yang mandiri untuk bertahan hidup di dunia yang dikuasai pria itu. Tsao Wan adalah tokoh dengan dilema paling berat karena mesti mengkhianati ayahnya demi cita-cita demokrasi. Walaupun begitu, ketiga tokoh wanita di sini tampil sama dominannya.

Ketiga pemeran tampil memikat untuk memunculkan karakter yang berbeda dari masing-masing tokoh yang sama-sama merupakan wanita kuat dan mandiri. Tsao Wan memiliki kecerdasan dan keteguhan untuk idealismenya, walau tampak sangat terguncang ketika menghadapi situasi pertentangan dengan ayahnya. Sheung Hung adalah wanita yang cerdik dan matre, karena keinginannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, tidak sekedar pemusik yang sering dilecehkan (oleh pria), sedangkan Pat Nell merupakan tokoh yang lebih polos dan tulus. Disamping mereka bertiga, penokohan untuk peran-peran kecil maupun tokoh antagonisnya pun tampil dengan karakter yang kuat.

Sempat terjadi main mata antara Sheung Hung dengan Tung Man, juga Pat Nell dengan Pak Hoi. Antara Tsao Wan dan Pak Hoi juga sekilas tampak ada ikatan emosional yang sepertinya membuat Pat Nell cemburu. Tetapi, permasalahan ini tidak dan memang tidak perlu diangkat lagi. Tampaknya mereka --dan juga penonton-- tidak punya waktu untuk mengurus kisah cinta. Kesetiakawanan dan kepercayaan diantara mereka berlima sudah cukup untuk keberhasilan misi yang diemban bersama.

Gedung pertunjukan opera merupakan lokasi pusat konflik di film ini, karena merupakan tempat yang sangat penting bagi para tokoh. Gedung itu menjadi tempat menjalankan beberapa strategi, juga sebagai tempat bersembunyi dan menyamar menjadi aktor di panggung ketika menghindari sekelompok petugas yang hendak menangkap mereka. Berbagai kekacauan terjadi di sini, mulai dari kacaunya pertunjukan sampai rusaknya gedung opera akibat pertarungan.

Dalam film ini kita disuguhi beberapa pementasan opera tradisional yang tampak begitu meriah, dengan setting dan kostumnya yang lengkap. Adegan-adegan dan karakter di film ini juga sebenarnya banyak mengandung aspek simbolik yang terkandung pada berbagai pertunjukan opera Cina. Ketiga tokoh wanita mencermikan karakter prajurit wanita dari opera Dao Ma Dan , dan banyak lagi simbolisasi lain.

Banyak komedi, drama dan berbagai ketegangan dihadirkan film karya Tsui Hark ini. Penonton seolah terus digerakkan dengan berbagai adegan yang tak pernah kehilangan irama dan tanpa satu momen pun yang pantas untuk disia-siakan. Banyak adegan menampilkan hal-hal tidak terduga, termasuk gaya berkelahi yang unik dengan aksi-aksi spektakuler yang menjadikannya tontonan action yang segar dan khas. Di samping itu ada juga beberapa adegan kekerasan yang menggetirkan.

Bila Tsao Wan melihat situasi di kenyataan masa sekarang, mungkin ia bisa berbangga karena wanita sudah banyak yang terjun ke politik dan memperjuangkan demokrasi serpti dirinya. Di samping itu, ia juga bisa sangat sedih karena masih banyak perjuangan para wanita dibalas dengan kekerasan dan pelecehan. Hal demikian juga mungkin dirasakan Pat Nell dan Sheung Hung

Ketika Pat Nell dan Sheung Hung tampil di panggung, seorang Jenderal penguasa yang menontonnya terpikat dan menginginkan mereka menemaninya pada malam hari. Menghadapi hal ini, ayah Pat Nell berkomentar: “..kalau wanita mulai bekerja, hal seperti ini pasti terjadi…”. Dengan pernyataan ini, mungkin dari sanalah muncul alasan yang kuat untuk melarang wanita bekerja, terutama untuk tampil di panggung. Apapun alasannya tampil, mereka hanya akan dipandang sebagai objek oleh pria. Sekarang, wanita memiliki kebebasan bekerja, bahkan menjadi bintang pentas, baik untuk mengekspresikan dirinya, menghibur penonton dan entah tujuan apa lagi dengan penampilan yang semakin berani. Mudah-mudahan, kaum pria sekarang sudah bisa tahu diri, atau para wanita yang tampil sadar apa yang mereka pertontonkan.

---Ramala Pualamsari---
29 Jan 2003

Tuesday, August 22, 2006

Romola & Romola



Romola de Pulszky adalah putri bangsawan di Hungaria dengan ibu seorang aktris terkenal pada masanya. Seperti wanita2 bangsawan terpelajar, ia dididik seni, budaya dan bahasa. Romola fasih berbahasa Magyar, Inggris dan Perancis. Ia belajar ballet dan akting. Tak lama sejak debut aktingnya di panggung Budapest, Romola memutuskan beralih profesi, kembali mempelajari ballet demi obsesinya pada seseorang. Orang itu adalah Vaslav Fomitch Nijinsky, seorang penari ballet legendaris yang pada masa itu (1912) sedang berada di puncak kejayaannya.
.......................
Ayah Romola seorang bangsawan yang penuh masalah. Konon ia sampai bunuh diri saat Romola masih remaja. Ibunya kemudian menikah lagi dengan seorang pengusaha. Romola, yang ingin bebas dari dominasi ibunya, di usia tujuh belas tahun mengambil keputusan besar dalam hidupnya ketika tanpa dia sangka Nijinsky melamarnya. Hubungan yang aneh, unik, cinta lokasi yang sangat singkat, dengan komunikasi terbatas oleh bahasa ini terwujud dalam waktu 2 minggu. Waktu itu mereka sedang menjalani tour ke Amerika Selatan bersama Ballet Russe -grup tari yang membawa Nijinsky pada ketenaran.

Karir Nijinsky setelah itu hancur akibat kecemburuan manajernya, Sergei Diaghileff. Walaupun Romola selalu berusaha memulihkannya, bukan hanya karir Nijinsky yang turun, tapi juga kesehatan mentalnya. Kehidupan mereka berdua berlanjut dengan usaha Romola mencari berbagai ahli kejiwaan dalam usaha menyembuhkan suaminya, dan perjalanan mengungsi ke berbagai kota di Eropa ketika perang dunia satu sampai perang dunia dua berlangsung. Untuk melestarikan legenda Nijinsky, Romola menulis biografi “Nijinsky” dan setelah Nijinsky meninggal ia melanjutkan kisahnya dalam “Last Years of Nijinsky”.

Romola menjadi seorang penulis kritik dan sejarah balet. Setelah Nijinsky meninggal, ia tinggal di Amerika, demikian dua anak perempuannya, Kyra dan Tamara. Tahun 1978 Romola Nijinsky meninggal dunia. Pada tahun (1998) Kyra, meninggal dunia, dan Tamara beserta putrinya, Kinga, kini menjadi pewaris legenda Nijinsky.


...............
Romola de Bardi adalah putri seorang scholar di Florence pada masa renaissance, dalam novel karya George Elliot “Romola”. Ia dibesarkan di tengah perpustakaan, membantu ayahnya yang renta dan buta menuliskan berbagai pemikirannya. Datanglah seorang yunani muda yang terdampar, Tito Melema. Tito yang tampan dan mengaku mendapat pendidikan dari ayahnya yang scholar juga, menarik hati Romola dan ayahnya, Bardo de Bardi. Kehadiran Tito akan melengkapi hidup mereka dan membantu mereka dalam analisa dan rumusan pemikiran Bardo. Namun, kenyataan sangat jauh dari itu. Bardo meninggal dalam kekecewaan. Romola merasa bersalah. Tito ternyata hanya seorang ambisius bermuka banyak, yang mengambil keuntungan dari setiap kondisi.
.......................

Romola yang berada dalam kancah pertarungan politik memiliki perannya sendiri. Sosok Romola muncul sebagai “Madonna” yang banyak membantu masyarakat lemah, mungkin kasih sayang untuk anak yang tak pernah didapatnya dicurahkan kepada orang-orang yang kesusahan. Dalam kekacauan kota Florence, Romola mengetahui bahwa suaminya telah mengabaikan ayah angkatnya ketika menjadi tawanan perang. Ayah angkat Tito kemudian bermaksud balas dendam. Tito juga ternyata telah berselingkuh dengan seorang remaja polos selama bertahun2 sampai memiliki dua orang anak.

Romola yang berjiwa besar menerima dan menyayangi “simpanan” suaminya beserta anak-anaknya, setelah kematian Tito. Wanita malang itu mengira ia telah dinikahi secara resmi oleh Tito, dan tidak tahu menahu mengenai siapa Romola sebenarnya. Selanjutnya mereka tinggal bersama membesarkan kedua anak Tito.


...................
Kesimpulan, kedua Romola ini kehidupannya sebenernya apesss, terutama dalam hal asmara.. haha..
Kesimpulan kedua: Cowo teh meni brengsek hehe...

Monday, August 07, 2006

Great Expectation, 1998

Based on the novel by Charles Dickens


The tree-lined avenue

Begins to fade from view

Drowning past regrets

……………

Saya menonton Great Expectation versi Alfonso Cuaron di bioskop LFM, sekitar tahun 1999. Saat itu mungkin saya masih belum bisa mendefinisikan selera sendiri. Masih belum berani menyatakan sebuah film itu bagus atau tidak, walaupun sudah memfavoritkan beberapa film bagus yang berkesan tak terlupakan . Tapi tapi somehow.. film ini entah kenapa begitu menyentuh.. ada kesan yang kuat, dan cukup untuk membuat ingin menontonnya lagi dan lagi!! Di TV, sewa VCD, sampe berburu DVD bajakannya yang sudah keburu hilang di pasaran kota kembang. Akhirnya ketemu VCD originalnya di Disc Tara. Walaupun udah sangat gak level nonton VCD, lumayan juga untuk koleksi minimal. Seberapa gak pentingnya pun film ini, saya suka..!!


I’m not gonna tell the story the way it happened, I’m gonna tell it the way I remember” (Pernyataan yang sesuai dengan konsep film Memento mengenai memori*).

Dan inilah memori seorang Finn Bell mengenai masa lalunya.


Seorang anak lelaki dengan kepolosannya menghadapi dunia, dihadapkan pada keanehan manusia dalam kehidupan. Diawali dari pertemuan dengan seorang buronan (Robert de Niro) yang kemudian tertangkap, dijadikan teman bermain seorang gadis kecil keponakan wanita aneh di rumah mewah yang kumuh tak terurus, kepolosan dan ketulusan Finn membawanya pada nasib baik sekaligus buruk. Miss Dinsmoore (Anne Bancroft) yang mendendam berpuluh tahun pada seorang pria yang meninggalkannya di altar pernikahan, menjadikan keponakannya, Estella, (Gwyneth Paltrow) sebagai alat untuk membalas pengalaman buruknya kepada kaum pria.

Sial bagi Finn, ia terjebak untuk terlibat permainan berbahaya itu semenjak ia jatuh cinta pada Estella. Namun tanpa disangka, jalan terbuka baginya untuk berusaha “menaikkan derajat” dari anak keluarga miskin menjadi seseorang yang pantas disandingkan dengan Estella. Sayangnya, alur nasib terus membulak-balik perasaan dan harapan Finn.


Adegan-adegan terbaik di film ini adalah kemunculan Estella. Gwyneth Paltrow sangat cocok tampil sebagai gadis glamour snobbish dan dingin. Ketika adegan-adegan beralih dari Estella ke kisah kemunculan kembali sang buronan, flow film sempat terasa menurun karena seolah terlepas dari alur sebelumnya. Padahal, semua masalah yang muncul itu saling berkaitan.


Entah seberapa hebat sebetulnya kisah cinta antara Finn dan Estella, tetapi romantisme yang gelap terbangun pada adegan-adegan film ini. Nuansa kesuraman membawa kita merasakan kepedihan Finn dan juga Miss Dinsmoore saat mereka bertemu terakhir kalinya. Keseluruhan kisah Great Expectation bukan sekedar kisah cinta, tapi juga mengenai ketulusan dan kasih sayang secara lebih universal, seperti yang digambarkan dalam hubungan Finn dan Joe, kakak iparnya. Dan seiring narasi Finn, kita pun diajak memahami tentang perkembangan jiwa dalam pemaknaan hidup seorang anak lelaki yang tumbuh menjadi dewasa.


Beberapa tokoh mengalami pergantian nama dari novel aslinya, dan alurnya pun banyak mengalami perubahan, terutama penyesuaian dengan jaman tanpa melepas esensi cerita.


Sebuah versi adaptasi novel yang memiliki identitas sendiri. Keglamouran versi 90an dan adegan klasik seperti holding hands on the seashore, looking at the sunset atau berlari di tengah hujan menjadi kombinasi yang cukup berkelas. Walaupun cenderung lebih explisit, ending versi Alfonso Cuaron membawa semangat a la Dickens pada ending novelnya, yang bisa membuat para pembaca/ penonton lega sekaligus bertanya-tanya.


Jadi, walaupun ada beberapa adegan “dangdut”, jangan anggap ini film kacangan ala Hollywood. Dan, yap... Gwyneth bekilau di bawah sinar matahari.