Thursday, October 10, 2013

GF*BF yang Blue Gate Crossing

Blue Gate Crossing adalah salah satu film "Ruang Santai" yang sekitar satu  dekade lalu pernah dipertontonkan Neng Sally pada khalayak LFM dan saya berkesempatan ikut menontonnya. Tidak seperti beberapa film pilihan Sally yang lain yang rada bikin trauma (hehe..), film satu ini menyisakan kesan positif. Sekian tahun berlalu, secara detail saya sudah lupa isi ceritanya, tapi ketika menemukan keberadaan film Girlfriend * Boyfriend, alias GF*BF yang dirilis tahun 2012, beberapa hal mengingatkan lagi akan film BGC, dan beberapa waktu setelah itu berhasil mengcopy bajakannya dari Neng Sally untuk menyegarkan ingatan.

Di antara BGC dan GF*BF, ada kesamaan yang paling jelas, yaitu dua-duanya produksi Taiwan dan pemeran utama wanitanya Guey Lun Mei, menampilkan  kehidupan anak SMA,  kisah cinta segitiga dan dilema persahabatan. Okey, satu lagi yang membuatnya semakin mirip walau berbeda, mungkin satu hal yang seharusnya SPOILER ALERT!!! Atau mungkin tidak apa-apa juga buat yang mungkin akan nonton tapi sudah mengetahui sebelumnya hal tersebut, karena menikmati kedua film ini adalah dengan mengikuti dan terbawa suasana-suasan yang terbangun sepanjang film, bukan mengenai "kejutan" atau jawaban akan sesuatu hal yang muncul di akhir cerita.

BGC dan GF*BF sama-sama bercerita tentang kisah cinta segitiga, dan di antara tiga tokoh utama yang terlibat ....mmmm.. ada yang suka pada sesama jenis (Ya, geleuh sih..). Jadi, masalah yang diangkat bisa dibilang sedikit kompleks dibandingkan permasalahan di film-film drama romantis kebanyakan. Kondisi persahabatan di antara mereka pun menjadi lebih dilematis. Beberapa hal pendukung dalam cerita kedua film ini juga memiliki kemiripan, seperti hobi berenang tokoh-tokohnya, kenorakan lucu-lucuan anak SMA yang kadang tampak agak berlebihan sebetulnya.

Kedua film ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tapi dua-duanya merupakan film favorit saya. Latar belakang BGC yang hanya berkisar dalam durasi singkat di masa SMA, membuatnya lebih ringan dan bisa untuk penonton kalangan remaja sedangkan GF*BF untuk penonton dewasa, mengikuti perkembangan para tokohnya sampai hampir tiga dekade dalam berbagai perubahan kondisi sosial politik di Taiwan sehingga jalan ceritnya pun jadi lebih "berat" karena mengandung muatan-muatan lain dalam latar belakangnya.

Yang paling menarik bagi saya adalah bahwa saya merasa film GF*BF  bisa saja dianggap sebagai semacam "jawaban" dari film BGC. Di akhir film BGC, ada harapan dan pertanyaan yang muncul dari diri kita penonton, dan pertanyaan-pertanyaan dari tokohnya. Yang terjadi di film GF*BF menampilkan salah satu kondisi yang mungkin terjadi juga pada tokoh2 BGC bila kisah mereka berlanjut. Memang tanpa menganggap keduanya terkoneksi pun sebagai satu film sendiri, BGC adalah film yang tuntas. GF*BF lah yang justru memiliki beberapa "plot holes".
Walaupun demikian, GF*BF cukup berhasil membuat penonton mengabaikan beberapa ketidakjelasannya tersebut ketika film ini menampilkan penyelesaian dalam beberapa adegan yang bisa cukup menentramkan semua kegalauan sepanjang film.

Keistimewaan  yang membuat kedua film ini tidak cepat membosankan dan tidak mudah terlupakan, adalah bagaimana olahan emosi ditampilkan dalam detail2 akting yang tampak begitu natural dari bahasa tubuh dan ekspresi tokoh-tokohnya dan terbangunnya suasana dengan permainan gambar & latar musiknya untuk membawa kita pada nostalgia setiap menonton ulangnya.





GF*BF A.K.A. : Girlfriend*Boyfriend  
Director: Yang Ya-Che

Writer: Yang Ya-Che

Stars: Joseph  Chang , Gwei Lun-Mei, Rhydian Vaughan, Bryan Shu-Hao Chang


Blue Gate Crossing  
Director:Chih-yen Yee


Writer: Chih-yen Yee

Stars: Gwei Lun-Mei, Bo-lin Chen, Shu-hui Liang

Saturday, June 15, 2013

Wong Kar Wai Singkat Secara Singkat

Sementara film-film panjangnya mungkin bisa dianggap "not for everyone", film-film pendek karya Wong Kar Wai mungkin malah lebih asik dinikmati sebagai suguhan keindahan audio & visual tanpa terlalu "terbebani" oleh ceritanya, sehingga mudah diikuti.

Ada beberapa contoh film pendek yang ditulis dan disutradarai Wong Kar Wai, berupa film iklan dari produk2 tertentu. Berhubung dengan tujuan konsumerisme, maka film2 ini haruslah bisa catchy untuk banyak orang.

WKW berhasil merepresentasikan produk yang dipromosikan dalam suatu cerita dan menampilkannya dengan puitis khas WKW, tidak mesti eksplisit, tapi tanpa menghilangkan esensi produknya.
Indah di mata walaupun suaranya disilent, dan indah didengar walaupun tanpa melihat gambar-gambarnya, demikianlah salah satu keistimewaan karya2 Wong Kar Wai.



Déjà Vu for Chivas Regal

Dengan permainan cahaya dan ruang, WKW mempuisikan produk minuman haram di iklan ini, dilengkapi "filosofi cinta" yang baru kali ini saya dengar:

Love is like Ice, how long can you hold on to it?

Ceritanya simpel saja, tentang pertemuan sepasang manusia, lalu mereka berpisah dan sambil si cewek berpesan:

"I will comeback If you grant me three wishes:  same place, same table, same….. miracle.. "

Nah "miracle"nya itu lah produk yang dipromosikan dalam film ini. Ditambah lagi, kehadirannya di film ini ceritanya disertai keajaiban fenomena alam.

Warna gelap keemasan, arsitektur antik nan eksotis, kemegahan interior dan musik dengan aktor-aktris yang indah di mata serta musik yang dramatis, membuat  minuman haram ini tampak begitu berkilau, mewah dan seolah penuh keajaiban.

Film satu ini cukup menonjol keiklanannya karena di beberapa frame, label produknya terlihat jelas.
Ada versi trailer, dan dua episode yang isinya beririsan.

ep 1:


ep 2








Between shadow and golden light, it's Chang Chen in a suit!


There’s Only One Sun for Philips Aurea, LCD TV

Yang satu ini sangat mirip film  2046, dari segi warna-warnanya, kostum  dan suasana futuristiknya bahkan pemilihan musiknya dengan adanya lagu yang sama, walau dari penyanyi berbeda. Ceritanya sih jauh berbeda. Kali ini WKW mengangkat cerita khas kisah mata-mata, yang menghadapi konflik perasan karena terlalu jauh terlibat dengan targetnya. Tentang melihat, mengingat, dan merasa.

It’s hard to look at things   directly
They are too bright and too dark,
Sometimes we need to see things through a screen.
On one side of the screen, memory fades
On the other, they glow forever..
Satu lagi yang nembuat unik film ini adalah perbedaan bahasa anatara tokohnya, si cewek berbahasa prancis, yang cowok2 bahasa rusia. No problem toh buat yangga mengerti keduanya tinggal baca teks bhs inggris, tapi efek yang terdengar rasanya unik sekali,  karena betapa bahasa rusia itu sangat jauh berbeda dari bahasa2 eropa yang lebih sering kita dengar, dan memberi mood yang lebih dramatis. Hal ini juga  mengkukuhkan perbedaan dan jarak yang menyebabkan dilema bagi si agen cewek.


Mbayangkan kalau film ini ditonton melalui layar yang diiklankan...

Cuplikan puisi rusia di akhir film semakin melengkapi kepuitisan film ini, ditambah lagi lagu berbahasa spanyol yang melatari monolog bahasa prancis .. memang tak ada yang sempurna di dunia ini, tapi ini iklan yang nyaris sempurnaaa!!






The Follow for BMW

The Follow adalah salah satu dari sejumlah film pendek BMW dalam serial The Hire yang diperankan Clive Owen, dan merupakan yang paling unik dibanding episode2 yg lain. Secara sinematografi, biasa saja tidak terlalu menonjol warna keWKWannya tapi walau skenarionya tidak ditulis oleh WKW, ceritanya  lebih bermakna dibanding episode-episode serial The Hire yg lain, dan dengan variasi alur dan twist cerita, WKW bisa menempatkan berbagai hal yang khas karya2nya: narasi monolog, adegan dan musik yang pas sehingga tetap berhasil membuatnya puitis disertai adegan ngalamun, dan tokoh wanita yang memakai kaca mata hitam tak lepas-lepas.


Harus itu, harus..... gak afdol kalau gak ada adegan ngalamun

Di episode-episode  yang lain, walaupun seru khas masing2 sutradara, dan pemerannya juga all-star, semuanya mengedepankan tentang kebut2an dengan si BMW. Apakah itu mengejar, dikejar, ataupun balapan. Bahkan versinya Ang Lee malah mengecewakan, karena jadi terlalu Hollywood, tentang kejar2an juga tanpa memunculkan keistimewaannya yang ada di film2 lain, plus “cameo” The Hulk yang gak penting.

The Follow bercerita tentang membuntuti orang, yang justru perlu teknik bagaimana menjaga jarak.... jangan terlalu dekat, dan juga jangan sampai kehilangan yang sangat membutuhkan kesabaran dan pengendalian diri. Bagaimana menunggu, dan bagaimana harus bersikap dan bereaksi terhadap “target”.
Bener deh sodara2, penggemar BMW atau bukan, stalker atau bukan, liat deh yang satu ini.





Monday, April 15, 2013

Matahari di Tengah Malam

Los Amantes del Círculo Polar (Lovers of the Arctic Circle)
Spain, 1998

Director: Julio Medem
Writer: Julio Medem
Stars: Najwa Nimri, Fele Martínez, Nancho Novo



Judulnya agak cheesy. Ceritanya pun, mengandung tema yang kurang lebih sudah familiar karena sampai sekarang masih banyak dipakai mulai dari drama hollywood sampai sinetron korea. Ya, tentang cinta, sepasang manusia yang terpisahkan dan keinginan untuk bersatu kembali, diromantisasi dengan tempat perjanjian pertemuan spesial. Dengan tema yang familiar tersebut, tapi dengan pemilihan bahan dan cara pengolahan yang berbeda menjadikan film "Lovers of the Arctic Circle" suatu produk yang istimewa dan unik. Film yang indah, romantis, mengharukan, dan mungkin tidak mudah dilupakan.

Otto dan Ana bertemu sejak kecil di sekolah dasar saat sama-sama sedang menghadapi kesedihan mendalam: Ayah Ana  baru meninggal, sementara Otto baru mengalami perpisahan orang tuanya. Dalam proses menghadapi masalah mereka, tanpa sengaja mereka justru menyebabkan ortu masing-masing berkenalan. Selanjutnya ayah Otto dan Ibu Ana menikah, memberi kesempatan Otto dan Ana remaja berhubungan diam-diam.
Lewat beberapa tahun kemudian, mereka berpisah dikarenakan Otto yang merasa bersalah dan sangat sedih setelah ibunya meninggal mendadak, memilih pergi menjalani hidup sendiri meninggalkan ayahnya dan juga meninggalkan Ana.

“Kebetulan” dipercayai Anna selalu terjadi pada hidupnya. Seperti kebetulan nama Ana dan Otto sama-sama merupakan palyndrom, yang bila dibaca dari belakang bunyinya tetap sama. Hanya saja, yang namanya “kebetulan” semestinya bukanlah hal yang sedang diharapkan. Ketika mengharapkan mengalami kebetulan bertemu kembali dengan Otto, Ana malah bertemu dengan Martin, guru di sekolahnya, dan mereka tinggal bersama sementara Otto baru menjalani karir yang membuatnya semakin menjauh dari Ana.

Setelah lewat beberapa tahun, Ana memutuskan berpisah dari Martin dan mengharapkan bertemu kembali dengan Otto. “Kebetulan” memberi kesempatan Ana untuk pergi ketempat impiannya di Finlandia, wilayah Laponia di Finlandia yang masuk dalam radius lingkar arktik, tempat kita dapat melihat  “midnight sun”, yaitu ketika pada musim panas matahari tak pernah menghilang di balik cakrawala. Dalam perjalanannya, Ana menemukan suatu “kebetulan” lain, peririsan takdirnya dengan Otto yang ternyata sudah tergaris sejak puluhan tahun. Sementara itu, Otto pun semakin menyadari hidupnya tak lengkap tanpa Ana.

Walaupun inti cerita adalah hubungan Ana dan Otto yang seolah begitu sejati dan tidak seharusnya terpisah, kita juga disuguhi bentuk2 cinta yang lain, yang bisa juga memudar sehingga terasa lebih dekat dengan kenyataan, dan cinta yang lebih sejati antara anak dan orang tua.
Perpisahan Otto dan Ana disebabkan kelabilan mereka sendiri, khususnya dari pihak Otto, bukan karena pihak lain yang ingin memisahkan, tapi juga bukan berdasarkan alasan-alasan yang tampak konyol yang akan membuat penonton berpendapat: : “ya udah lah jangan nyusah2in diri, tinggal jadian lagi aja, saling kontak lagi aja”. 

Dari apa yang mereka alami, penonton yang cukup terlibat akan bisa memaklumi dan menerima proses dalam diri mereka. Otto memang harus pergi, Ana memang harus mencoba berhubungan dengan pria lain. Bila belum saatnya mereka bersatu, berarti memang belum bisa. Dan kemudian, untuk bisa bertemu pun mereka harus pergi ke tempat yang bagi mereka merupakan "dunia lain", yaitu negeri "midnight sun". Karena itu lah ketika nyaris tiba waktu pertemuan, penonton pun bisa lebih menghargai dan meningkatkan harapan bersama para tokohnya.

Menonton film ini sebetulnya cukup mudah karena penonton punya kecenderungan ekspektasi sederhana: agar pasangan Ana dan Otto bisa bersatu kembali. Beberapa clue di awal sudah memberi isyarat agar kita menyiapkan mental untuk sesuatu yang bukan happy ending. Dengan antisipasi itu pun, twist cerita di bagian akhir tetap cukup mengejutkan. Penyelesaian yang ambigu memberi pemaknaan dan harapan yang berbeda bagi penonton .

Film ini sukses berbicara dengan narasi dan bahasa gambar yang saling menguatkan. Alur cerita dinarasikan secara kilas balik dan bergantian antara sudut pandang kedua tokoh.  Perbedaan persepsi  dari Otto dan Ana akan berbagai kejadian membawa penonton terlibat dalam proses perkembangan karakter seiring bertumbuh dewasanya kedua tokoh.

Jalan takdir dalam "kebetulan-kebetulan" yang terjadi terasa cukup natural dan  divisualisasikan dengan baik dalam keterkaitan antara adegan sepanjang film. Adegan-adegan tertentu dengan detail-detail gambar atau dialog-dialog tertentu akan mengarahkan ke hal-hal lain, seperti berita di TV, kemunculan rusa, bis merah, pesawat kertas dan banyak lagi, semua punya makna yang menjawab atau menguatkan kejadian2 selanjutnya.


Tiga paket pemeran tokoh inti Otto dan Ana chemistrynya kuat, enak dipandang dan aktingnya bagus terutama paket pemeran dewasa: Fele Martinez & Najwa Nimri yang paling terlihat olahan emosinya. Perkembangan hubungan keduanya juga terasa dan divisualisasikan dengan sangat baik. Bertahun2 Ana dan Otto lewatkan berangkat sekolah bersama dalam diam, tapi koneksi antara keduanya tetap terasa, berkomunikasi lewat ekspresi dan lirikan mata, dalam hal ini paket pemeran anak dan remaja menampilkannya dengan sangat baik. Yang agak menganggu hanyalah Otto remaja yang terlalu seperti perempuan. Tokoh-tokoh orang tua mereka juga tampil baik dan natural dengan permasalahan mereka.

Yang semakin membuat film ini terasa indah, romantis dan istimewa, justru minimalnya pernyataan2 cinta dan kata-kata motivasi. Semua gejolak emosi dan perasaan tergambar dan tersampaikan dengan sangat baik melalui bahasa gambar, ekspresi para aktor, bahkan monolog dan dialog yang terasa normal. Sayangnya ada hal  dibahas berulang-ulang dan secara verbal, seperti masalah nama palindrom dan "kebetulan" yang dipercayai Ana, Sepertinya pembuat film ini begitu ingin menekankan topik tersebut dan khawatir penonton tidak memahami.

Memahami atau tidak, mendukung atau tidak keusksesan pasangan Ana & Otto, film ini cukup menghibur dan mudah dinikmati sebagai suatu karya sinema yang kaya.

Rasanya mendapatkan jackpot ketika menemukan satu lagi film yang  masuk daftar referensinya film Mr. Nobody. Sementara sepertinya memang saya belum akan berhasil menulis tentang Mr. Nobody sampai ketemu lagi semua film referensinya (?) atau emang gak sanggup aja. Film satu ini cukup spesifik, bahkan di imdb pun tertulis bahwa bagian2 tertentu Mr.Nobody merefer ke sini.



!!! **SPOILER ALERT**!!!

Beberapa adegan kunci yang agak mengganggu:(yang belum nonton dan berminat nonton mending jangan baca yaaa )

Pesawat kertas yang disebar Otto tidak pernah disebut dengan jelas isinya. Tapi pada saat Otto melempar2nya dari toilet gedung sekolahnya, ada kertas yang belum dilipat jadi pesawat dan terlihat sekilas tulisannya, Tapi tetap tidak terbaca hanya terlihat dua baris dan ada tanda tanya di belakangnya. Kalau dengan resolusi lebih tinggi dan mengerti bahasa spanyol, mungkin bisa mendeteksinya.

Waktu Ana dan Otto nyaris berpapasan dan duduk berdekatan tapi tidak saling melihat satu sama lain rasanya agak mengganjal. Apa mungkin ya, dengan jarak segitu tidak saling "ngeuh"? Saya pikir walaupun tidak saling melihat, kalau ada orang yang kita kenal akan ada semacam aura yang terasa. Teman lama yang sudah lama sekali tidak bertemu saja kadang kita bisa melihat dari jauh, apalagi ini keluarga yang sudah tinggal bersama bertahun-tahun. Kalau mereka muter2in kepala sedikit saja kan pasti saling melihat, Atau mungkin memang saya pun tidak akan tahu ya kalau yang seperti ini pernah saya alami.

Mengenai ending. Oke ada dua versi penyelesaian. Tapi secara logika, yang paling mungkin terjadi adalah yang kedua. Yang versi satu kurang sesuai dengan plot sebelumnya, Kenapa bisa Otto sudah duluan menunggu di rumah Otto tua? lalu, juga ada kejangalan dengan koran di tangan Ana.
Model penyelesaian semacam film Love me if You Dare, bikin ambigu & penonton jadi ada yang berharap happy ending, tapi kalau kata saya sih Love me If You Dare juga jelas mana yang lebih kuat adegannya


Sub-judul Otto dan Ana yang muncul berganti  bulak balik setiap film berganti sudut pandang, awalnya terasa tidak terlalu perlu. Kita seharusnya bisa dengan mudah mengerti ketika narasi berganti, adegan berulang dari sudut pandang yang berbeda. Tapi belakangan sub judul itu berubah bukan sekedar Otto/ Ana lagi. Pasti ada maksud dari Julio Medem mengenai hail ini, mungkin berkaitan dengan endingnya juga. Sayangnya saya kurang paham, tapi cukup lah menikmati perubahan itu sebagai variasi permainan sutradara dalam teknik story telling. 

Paling suka sama ekspresi mba2 toko pernak pernik., Priceless! diulang berapa kali bikin ketawa terus



Tambahan setelah KineMala: Ternyata ada yg berpendapat bahwa Otto pun tewas bersama jatuhnya pesawat, jadi adegan dia nyangkut & bertemu si orang Finlan yg nyelamatin dia itu pun termasuk khayalan karena di mobil Otto nanya apa dia bisa "ski upward" dan orang itu mengangguk.
Kalau kata saya sih bisa juga, tapi logikanya agak jauh pesawatnya kan jatuh di utara banget,di luar trayek dia jadi rada aneh kenapa bisa nyasar ke sana. Tadinya saya kira sesuai adegan pembuka dan omongan Otto kecil dia akan mati kalau kehabisan bensin. Jadid kalaupun pesawatnya jatuh krena kehabisan bensin
, harusnya masih di dalam trayek.






Wednesday, March 27, 2013

Talk to her, or Listen

Hable con Ella.

Director : Pedro Almodóvar
Writer   : Pedro Almodóvar
Stars     : Rosario Flores, Javier Cámara, Darío Grandinetti, Leonor Watling

Saya terhubung ke film Hable con Ella karena sedang berburu film-filmnya Gael Garcia . Salah satu yang ratingnya cukup tinggi di beberapa site adalah film La Mala Educación karya Pedro Almodovar, sutradara Spanyol. Karena belum berhasil mendapatkan film yang dituju, saya mendahulukan  filmnya Almodovar yang lain walau tanpa Gael, yang mendapat rating tinggi dan banyak resensi positif: Hable con Ella.



Hable con Ella yang artinya “Talk to her” terdengar sepeti film drama romantis, ketika dua orang pria berkenalan di sebuah rumah sakit dan jadi sahabat karena saling berbagi cerita untuk kasus yang sama: Wanita yang mereka cintai sedang dalam keadaan koma.  Bayangkan betapa romantisnya berbicara pada kekasih hati yang terbaring tidur panjang, dengan jiwanya entah berada di alam mana, entah mendengar atau tidak, entah menangkap kata2 kita di alam mimpi, atau mungkin justru rohnya sedang melayang-layang di ruangan tersebut mendengar, tapi juga melihat orang2 yang berbicara? Wallahu a'lam.

Dua pasangan dalam  film ini adalah Benigno, perawat di rumah sakit tempat para pasien koma tersebut dirawat dengan Alicia seorang penari, dan Marco seorang penulis dengan Lidya seorang matador (ya, matador!).  Latar belakang masing-masing tokoh dan perkembangan hubungan kedua pasangan terungkap secara bertahap dengan permainan plot maju-muncur.

Hable con Ella adalah film yang padat, padat dengan informasi.  Profesi para tokoh ditampilkan dengan jelas, baik dengan visualisasi aktifitas meraka, maupun dengan dialog langsung maupun tidak langsung. Para tokoh pendukung seperti tim perawat, guru tari, dan keluarga para tokoh utama tidak sekedar muncul atau lewat saja, tapi memiliki sekilas latar belakang atau eksistensi tertentu yang melengkapi dan memperkaya cerita.

Latar belakang budaya dan sosial dimunculkan dengan cara yang menarik, seperti bagaimana pertunjukan bullfighting khas Spanyol dan sekilas kehidupan Matador di negara itu serta budaya infotainment. Untuk masalah sosial ada seorang perawat yang  sedang bermasalah dengan rumah tangganya dan cerita tentang mantannya Marco yang bermasalah dengan drugs. Hal-hal ini hanya diucapkan sekilas melalui satu dua kalimat, tapi berpengaruh pada cerita film dan cukup memberikan gambaran mengenai beberapa permasalahan sosial di lingkungan latar belakang film ini.

Ide mengenai romantisme tampil dengan bentuk yang berbeda-beda di sini. Ada yang wajar, ada yang janggal.  Hubungan Benigno dan Alicia yang berlangsung satu arah selama bertahun-tahun, perlu dipertanyakan. Benigno yang dengan sungguh-sungguh merawat Alicia dari memandikan, memijat, fisiotherapy sampai mendandani. Dia bahkan melakukan sendiri hal-hal yang disukai Alicia seperti menonton pertunjukan tari dan film klasik. Hubungan Marco dan Lidya masih tampak lebih normal, hanya saja Marco dari awal terlalu merasa memahami Lidya. Ketika Lidya koma, Marco sebetulnya tidak tahu harus bagaimana merawat dan berbicara dengan Lidya seperti yang dilakukan Benigno.

Benigno adalah tokoh yang paling kompleks di film ini. Di balik  pembawaan  yang ramah,  rajin tulus, dan tampak tenang. Latar belakang keluarga dan kondisi kesehariannya merupakan potensi masalah.  Apa yang Benigno pikirkan di balik semua itu mungkin membuat penonton bertanya-tanya atau menebak-nebak. Bahkan Marco pun yang dianggap satu-satunya sahabat Benigno tidak bisa cukup memahami.  Perkembangan cerita menjadi mengkhawatirkan, termasuk juga perkembangan persahabatan Marco dan Benigno. Apa yang terjadi selanjutnya mungkin sebagian bisa tertebak, namun dengan plot cerita yang terasa pelan tapi padat membuka lapis demi lapis kejadian dan perkembangan karakter sehingga keseluruhan cerita merupakan proses yang menarik, membuat penonton terbawa oleh alurnya yang kompleks namun mudah diikuti.

Akting para pemeran mulus menampilkan tiap karakter menjadi terlihat wajar, natural, dengan keunikan masing-masing. Bahkan Alicia yang mungkin paling sederhana karakaterisasinya dan tidak banyak melakukan aktifitas dan dialog, keberadaannya tetap berisi, tidak sekedar jadi wajah pemanis apalagi eksistensinya berpengaruh begitu besar terhadap para tokoh lain.

Tidak perlu teknik-teknik sinematografi yang  spektakuler untuk membuat film ini memikat. Dengan posisi kamera pada skala manusia, sudut pandang penonton mudah ditempatkan dan bisa lebih fokus ke cerita serta karakter.  Eksplorasi sutradara dalam visualisasi di beberapa adegan cukup aneh dan unik, seperti penggunaan pertunjukan ballet modern dan film bisu yang memiliki makna-makna sendiri sebagai bagian cerita. Penempatan musik dalam film ini, terutama pada beberapa adegan khusus, seperti adegan pentas tari dan adegan matador juga menjadi nuansa penting yang ikut berbicara dalam film ini.

Hable con Ella tidak memaksakan suatu idealisme, tidak memberi teladan atau motivasi bagi penonton. Bahkan mungkin para tokohnya tidak perlu kita beri simpati. Tapi, apapun yang mereka lakukan, kurang lebih bisa dimengerti walaupun bukan berarti untuk dimaklumi. Mungkin penonton bisa terkoneksi, mungkin juga tidak. Cerita film ini seolah memunculkan sesuatu yang apa adanya, bisa baik bisa buruk, sebagai konsekuensi dari nasib.
Ending film ini memberi pertanyaan sekaligus harapan. Menyelesaikan masalah sekaligus membuat masalah baru. Bahkan masalah yang akan timbul potensial untuk dijadikan satu film sendiri.

Hable con Ella adalah kombinasi film komersial dan film seni, objek diskusi yang lezat bagi para apresiator maupun pembelajar film. Penerimaan terhadap film ini bisa berbeda-beda: sangat suka atau tidak suka. Tapi tetap saja sebagai sebuah karya film, Hable con Ella adalah produk yang kumplit. Dan sebuah film bisa menjadi kumplit, tanpa harus menawarkan, apalagi memaksakan suatu "pesan moral".

Bagi saya, ritme film ini tidak terkoneksi dengan detak jantung dan irama sistem pencernaan saya  seperti banyak film HK tapi juga tidak sampai bikin mual seperti sebagian film hollywood, atau bikin migrain seperti kebanyakan film korea.  Film ini aneh. Tidak bikin sebal, juga tidak bikin saya jatuh cinta, tapi sama sekali tidak membuat saya ingin berhenti menontonnya. Bahkan ingin mengulangnya terus karena selalu terasa ada yang perlu saya lebih pahami. Khususnya, saya terhibur dengan penempatan musik. Dalam hal ini saya pikir Almodovar seperti Wong Kar Wai, apalagi mereka pernah menggunakan satu lagu yang sama di film masing2. Selera mereka dalam mengkombinasikan dan menempatkan musik, lagu dan lirik dengan adegan dan ekspresi aktor2nya menjadikan film-film mereka sebagai tontonan yang asik untuk diulang-ulang, khususnya di bagian-bagian tertentu seperti sekedar menikmati video klip   

Saturday, March 16, 2013

Cinta, Kebebasan dan Masa Muda

Three Times 最好的時光
Taiwan, 2005
Director: Hou Hsiao Hsien
Writer: Hou Hsiao-Hsien, Chu T'ien-wen
Cast: Shu Qi, Chang Chen



Menyampaikan makna dan mengekspresikan rasa tanpa kata-kata adalah salah satu kekhasan dan kekuatan yang ada dalam  film-film Asia, bertolak belakang dengan film-film Hollywood.  Konteksnya bukan hanya dalam hal cinta asmara, tapi juga hubungan keluarga, antar sahabat, bos-anak buah, kepala gangster-preman, dan berbagai macam hubungan antara manusia.



Untuk penonton yang sudah bosan dengan berbagai pidato pernyataan cinta ala Hollywood dan ingin menyaksikan romantisme dengan pengekspresian perasaan yang murni dan natural, produk perfilman Taiwan adalah salah satu sumber yang paling berhasil dalam hal ini, dan film Three Times adalah salah satu contoh terbaik

Three Times terbagi dalam tiga segmen cerita dengan variasi tiga latar waktu. Segmen pertama berlatar tahun 1966, babak kedua di tahun 1911 dan segmen ketiga di tahun 2005. Masing-masing menampilkan hubungan antara dua tokoh utama yang dalam ketiga bagian film ini semua diperankan Shu Qi dan Chang Chen.
Keunikan film ini adalah latar cerita yang menjadi unsur kuat dalam menjelaskan isi cerita dengan minimnya dialog. Perbedaan ketiga jaman yang ditampilkan menyebabkan perbedaan situasi, dan juga cara berkomunikasi dan hal ini juga ditampilkan dengan perbedaan visualisasi dalam film.

Tidak banyak yang perlu diceritakan dari plotnya. Intinya hanya tiga macam hubungan cinta dengan jalan dan keberhasilan yang berbeda-beda, dipengaruhi kondisi politik dan budaya yang berbeda-beda di masing-masing jaman.  Minimnya dialog dan adegan-adegan yang sangatlah lambat menyebabkan film ini bisa membosankan untuk sebagian orang. Tapi bagi yang bisa bersabar, bahasa gambar, ekspresi serta gerak tubuh para pemerannya berbicara banyak, bahkan detail-detail latar yang ditampilkan bisa dinikmati dan memiliki makna-makna tersendiri.  

Akting dan chemistry Chang Chen dan Shu Qi merupakan salah satu daya tarik film ini. Selain secara fisik enak dipandang, penyampaian perasaan mereka ke penonton sangatlah efektif. Chang Chen tampil cocok di tiga jaman, sementara Shu Qi paling cocok untuk peran tahun 2005, mungkin secara fisik karena wajahnya yang terlalu "modern" atau hanya sekedar masalah make up. Walau kadang tampak terlalu berusaha dibandingkan Chang Chen yang aktingnya lebih tampak natural, Shu Qi bisa menampilkan ketiga karakter yang masing-masingnya sangat jauh berbeda sedangkan karakter-karakter Chang Chen terasa lebih senada.
Shu Qi menang Golden Horse Award dalam perannya di sini, sementara Chang Chen dinominasikan tapi kalah oleh Aaron Kwok.

Tidak semua kisah  cinta dalam film ini tersolusikan “tuntas”. Ada hal-hal yang perlu disimpulkan sendiri oleh penonton atau dibayangkan sendiri bagaimana kelanjutannya karena film ini mencukupkan selesainya cerita pada titik tertentu. Bagian film yang paling dianggap berhasil oleh banyak kritikus/ penononton adalah segmen pertama: A Time for Love. Mungkin karena di segmen ini kisah cintanya tercapai, sehingga paling disukai. Sementara yang dua lagi: A Time for Freedom dan A Time for Youth melibatkan emosi dan hubungan yang lebih “It’s complicated”.

Walau mungkin tidak harus selalu puas dengan hasilnya, penonton bisa terhubung ke bagian-bagian tertentu karena film ini menyampaikan perasaan-perasaan yang bisa muncul di tiap orang dan cara penyikapannya pun bisa diterima.

Kalau sudah lupa rasanya baru jatuh cinta, atau digantung cintanya, atau mendua/ selingkuh, hmm ya mungkin film ini bisa mengingatkan.


Awards and nominations
  • 2005 Cannes Film Festival
    • Nominated: Palme d'Or[1]
  • 2005 Golden Horse Awards
    • Won: Best Taiwanese Film of the Year
    • Won: Best Actress (Shu Qi)
    • Won: Best Taiwanese Filmmaker (Hou Hsiao-hsien)
    • Nominated: Best Actor (Chang Chen)
    • Nominated: Best Art Direction
    • Nominated: Best Cinematography
    • Nominated: Best Director
    • Nominated: Best Editing
    • Nominated: Best Makeup and Costume Design
    • Nominated: Best Picture
    • Nominated: Best Original Screenplay
  • 2005 Hong Kong Film Awards
    • Nominated: Best Asian Film (Taiwan)
  • 2006 Yerevan International Film Festival
    • Won: Golden Apricot - Best Film

Saturday, March 09, 2013

GF*BF

AKA Girlfriend*Boyfriend,  AKA 女朋友。男朋友  
Taiwan, 2012
Director: Yang Ya-Che  
Writer  : Yang Ya-Che
Cast     : Joseph Chang, Guey Lun-Mei, Rhydian Vaughan, Bryan Chang Shu-Hao



BF*GF mengisahkan cinta segitiga antara tiga orang sahabat sejak masa SMA: seorang pemudi dan dua pemuda.
Film yang unik dan cukup menyegarkan karena tidak seperti kisah ala "serial cantik" dengan tokoh wanita yang mendua di antara dua pria yang masing2 punya kelebihan sehingga para penonton fanatik pun perlu terbagi menjadi "tim pendukung" untuk masing-masing tokoh pria. Film ini juga bukan tentang pertemanan tahunan yang berujung ke prospek cinta sejati seperti yang banyak di sit-com dan rom-com Hollywood, dan bukan drama mengharu biru yang berujung tragis berlebihan ala Korea. BF*GF berisikan kisah hidup dalam suatu pola hubungan antara manusia, yang unik, aneh, bahkan agak menyebalkan, tapi juga mungkin terasa familiar

Walaupun mengandung hal klise seperti suatu situasi “terminal illness”, film ini berhasil menampilkan sebagian proses jalan kehidupan manusia, percintaan dan persahabatan dengan caranya yang khas. BF*GF berlatarkan empat periode waktu dengan situasi politik berbeda di Taiwan, menunjukkan pendewasaan masing-masing tokoh dan apa yang terjadi pada hubungan antara mereka pada tiap periode.

Sebetulnya cukup jelas siapa yang menyukai siapa di antara mereka, tapi apa yang lalu terjadi dan bagaimana mereka menyikapinya banyak mengundang pertanyaan. Dalam rentang antara tiap periode waktu yang ditampilkan, tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang membuat tokoh-tokohnya mengambil keputusan-keputusan tertentu. Mungkin ini kekurangan dalam pembuatan alur cerita, mungkin karena tidak cukup waktu untuk menampilkan semuanya atau mungkin sengaja supaya penonton menebak-nebak dan membuat persepsi sendiri. Ada beberapa kata kunci dan adegan-adegan kunci yang memberi penjelasan sebab-akibat suatu kejadian. Tapi sepertinya masih tidak cukup, beberapa hal perlu disimpulkan/ ditebak-tebak oleh penonton.

Dengan segala ketidakjelasan dan hal-hal yang membingungkan, setiap adegan film ini tetap memiliki kekuatan dalam menyampaikan manis-pahit-getir yang terjadi dalam kehidupan dan hubungan antara ketiga tokoh. Film ini dibuka dengan adegan yang cukup heboh menggertak dengan lucu, lalu ditutup dengan beberapa frame gambar yang menyentuh. Kita mungkin tidak tahu mau berpihak kepada siapa dan harus mengharapkan pasangan mana yang berakhir bahagia, tapi film ini berakhir dengan solusi yang bisa dianggap paling baik bagi mereka.
Performa para pemeran sangat baik menampilkan dinamika dan transformasi karakter dalam rentang waktu dari masa remaja sampai dewasa. Guey Lun-Mei menang Golden Horse 2012 untuk perannya di sini.

Yang menyebalkan dari film produksi negara2 yang hurufnya tidak bisa kita baca adalah ketika subtitle tidak muncul untuk tulisan2 yang tidak diucapkan para pemerannya. Apalagi di film ini ada satu adegan dua tokohnya berkomunikasi dengan menulis (menggambar) dengan gerakan jari di telapak tangan temannya. Apa yang ditulis saja saya tidak bisa mengikuti dari gerakannya, apalagi tahu artinya. Akhrnya saya berhasil mendapat contekan dari blog orang.
Lima menit terakhir film ini adalah bagian yang paling keren untuk diulang-ulang, lagu penutup dengan montage nostalgia. Setiap subtitle menmunculkan kata “tears” rasanya jadi memang pingin nangis. Menurut saya film ini bukan tipe mehek-mehek atau “tearjerker”, tapii….hauaaaaaaaaaaa! hoaaaa!!!

Sunday, February 24, 2013

Adu hewan atau adu manusia?

Salah satu yang mengganggu saya dalam menonton film Hable con Ella (Talk to Her) adalah ditampilkannya pertunjukan corrida de toros/ toreo/ bullfighting. Dalam bahasa Indonesia, toreo diartikan sebagai “perkelahian manusia melawan banteng”. Singkatnya mungkin dikenal sebagai adu banteng atau pertunjukan matador. Matador sendiri artinya pembunuh/ orangnya, bintang utama dalam pertandingan itu. Toreo adalah pertarungan hidup-mati  antara banteng dan dan manusia. Lengkapnya lihat saja di wikipedia

Intinya, pertunjukan matador adalah suatu kegiatan brutal penyiksaan terhadap hewan yang ditonton untuk sekedar kesenangan manusia, dipraktekkan di Spanyol dan beberapa negara bekas jajahannya, dengan beberapa variasi.  Pertunjukan adu hewan sendiri ada di berbagai balahan dunia, dan sepertinya merupakan penyaluran naluri brutalisme manusia yang dipraktekkan sampai sekarang. Di Indonesia sendiri berbagai tipe adu hewan dilaksanakan mulai dari adu jangkrik, sabung ayam, adu domba, adu anjing dan lain2. Selain masalah penderitaan hewan yang di adu, kegiatan semacam ini kerap diiringi perjudian.  Kegiatan adu hewan bertentangan dengan agama, peri kemanusiaan, dan peri kehewanan dan mungkin peri perekonomian.

Di antara peradu-aduan hewan yang ada, pertunjukan matador secara sistem adalah yang paling tidak adil karena si Banteng melawan manusia dengan cara dikeroyok. Walaupun sang Matador merupakan bintang utama dan menjadi umpan buat si Banteng,  si Banteng sudah dilemahkan dengan ditusuk2 oleh beberapa orang banderillero .
Kalau dalam kondisi normal kemungkinan besar manusianya yang akan kalah. Tanpa peran banderillero, pertarungan satu manusia lawan satu banteng itu dianggap tidak seimbang dengan banteng yang lebih kuat. Ya kalau begitu, ngapain nantang2 bantengnya ya?  Dengan alasan itu, para manusia merasa berhak menerapkan “slow and painfull death” untuk si banteng demi gerakan-gerakan indah antara matador dan si banteng.

Walaupun sudah diprotes banyak kalangan dan di beberapa negara sudah dilarang, pemerintah Spanyol sendiri tetap menganggapnya sebagai budaya yang perlu dilestarikan bahkan mensubsidinya. Pertunjukan ini masih dianggap aset wisata yang digemari warganya sendiri, turis dan sponsor. Para matador hidup bagaikan selebriti, sebagaimana yang ditampilkan di film Hable con Ella.  

Selain Hable con Ella, film Amores Perros yang produksi Meksiko termasuk salah satu film yang mengekspos kekerasan dalam adu hewan, dalam hal ini anjing. Apa yang dimunculkan di kedua film tersebut merupakan cerminan dari kenyataan di negara asalnya. Bedanya, adu anjing di Amores Perros diperlihatkan sebagai kegiatan ilegal yang dilakukan preman-preman dalam rangka perjudian, sementara pertunjukan matador di Hable con Ella, merupakan hal yang diterima dengan wajar seperti penerimaan orang terhadap pertunjukan tari. Uniknya matador dalam film ini adalah seorang  wanita yang meneruskan cita-cita ayahnya, seorang Banderilleros yang ingin menjadi matador tapi gagal.  Di kenyataan memang ada beberapa matador wanita yang sukses. Tokoh Lidya di film ini sendiri diperlihatkan bahwa di balik keberaniannya (dan kekejaman) menghadapi banteng di arena, adalah seorang wanita biasa yang bisa jatuh cinta, patah hati, bahkan punya phobia tertentu.

Pertunjukan toreo memang merupakan bagian yang tidak bisa dipidahkan dari film ini. Bahwa para tokoh film merupakan orang2 yang menerima kegiatan brutal tersebut sebagai bagian hidup mereka, adalah hal yang perlu kita pahami mengenai karakter manusia.
Sebagai orang yang ngaku-ngaku penyanyang binatang (kecuali tikus, nyamuk, lalat, kecoa), saya sempat berpikir seharusnya memboikot film macam begini. Tapi sementara itu, ada berapa film yang memperlihatkan pembunuhan terhadap manusia dan saya merasa terhibur menontonnya? Bahkan kadang kita bersorak dan tertawa ketika korbannya itu adalah tokoh2 penjahat, dan si boga lakon melakukan adegan pembunuhan dengan lucu.

Dalam hal pembuatan film,  adegan manusia mati di film cukup dipercayai merupakan akting dan manipulasi, sementara adegan yang menggunakan hewan dikhawatirkan membahayakan/ menyakiti hewan tsb, walaupun bukan di adegan yang berbahaya. Maka itu di akhir film biasanya ada pernyataan semacam “No animals were harmed during filming”, samacam label halal dari lembaga American Humane Association (AHA).  Film Talk to Her lolos sensor AHA berdasarkan beberapa pertimbangan mengenai teknis pembuatan film dan lingkup hukum Toreo yang legal di Spanyol.

Film Hable con Ella sama sekali tidak mengkampanyekan perlindungan terhadap banteng, apalagi anti  pertunjukan adu banteng sebagaimana biasanya film-film yang  politically correct  produksi Hollywood atau film2 yang lebih "bermoral". Walau menonton dengan mengagumi pembuatan adegan matador yang begitu mengena sebagai komponen penting bagi keseluruhan cerita film, saya dengan sadar sama sekali tidak punya niat untuk menonton pembantaian Banteng itu di kenyataan. Kalau kapan-kapan saya bisa berkunjung ke spanyol, haram menonton matador.

Maka dengan ini, bisakah para manusia walaupun sanggup menonton film yang mengandung hal-hal tidak baik seperti kekejaman terhadap hewan dan manusia,  tidak menerapkannya dalam kehidupan nyata?
Membuat film tentang perang, tanpa harus menyelenggarakan perang betulan?
Hmm gimana noh Amerika Serikat dan Hollywood?



Friday, February 22, 2013

Bukan resensi Life of Pi.



Waktu menonton film Life of Pi, di tengah film terlintas di benak saya: Wow! sepertinya Ang Lee akan cocok kalau menyutradarai film adaptasi dari komik Sandman karya Neil Gaiman. Pendapat yang didasari alasan sederhana dan dangkal: (mungkin perlu spolier alert!!!???).................Begitu seekor ikan paus meloncat ke atas permukaan laut dengan gemerlap, gagah dan megah mendebarkan, saya langsung teringat monster laut di Sandman buku ke-8 : At World’s End..........

Melalui Life of Pi, Ang Lee berhasil memvisualisasikan adegan-adegan dengan suasana DREAMY secara luar biasa menakjubkan, dan percayalah, tidak butuh format 3D untuk menikmatinya. Gambar-gambar yang tadinya tidak terbayang bakal ada/ bakal kita lihat baik di dunia nyata maupun di film lain seolah menyihir penonton. Dari detik pertama frame pertama sampai detik terakhir frame terakhir, saya semakin yakin: Life of Pi istimewa karena Ang Lee, dan hanya Ang Lee yang bisa membuatnya demikian. Dan mungkin Cuma Ang Lee yang bisa memfilmkan Sandman.




Di antara kemegahan gambar dan unsur artistik film Life of Pi, yang paling membuktikan “kemasteran” Ang Lee menurut saya bukan sekedar efek –efek visual yang memesona tersebut, bukan sekedar keajaiban binatang-binatang laut dan ribuan meerkat di pulau ajaib yang bercahaya ajaib di malam hari, bukan teknologi CGI harimau yang begitu hidup, juga bukan akting Suraj Sharma yang sangat bagus walau merupakan pendatang baru tanpa latar belakang akting. Yang menurut saya paling hebat justru bagian adegan-adegan Pi dewasa dan si penulis novel, tentunya dalam keterkaitan sebagai bagian yang saling melengkapi dengan fase-fase lain di kehidupan Pi dalam film tsb.

Waktu mengintip trailernya yang menunjukkan Pi dewasa yang berbicara dengan si penulis novel, tampak sungguhlah tidak menarik, apalagi para pemerannya bukanlah aktor2 cakep yang saya favoritkan.  Kemunculan mereka adalah bagian yang saya antisipasi akan membosankan. Tapi ternyata walaupun hanya memperlihatkan dua orang ngobrol sambil menyiapkan makanan, jalan2 ke taman sambil ngobrol lagi, dan makan sambil ngobrol lagi, sama sekali tidak membuat saya ingin berpaling dari layar.

Di sini lah kekuatan khas Ang Lee, seperti yang terlihat dari film-filmnya yang lain. Semua gerak-gerik dan olah tubuh, dilengkapi ekspresi yang begitu presisi sampai gerakan alis, kerutan keningnya, dan tarikan bibir, cara mendongak sampai cara mengetuk jari para aktor mencerminkan apa yang dialami dan dipikirkan para tokoh, dan semuanya bisa terlihat natural. Apakah mereka sedang berkungfu, sedang ngobrol santey sambil makan, sedang berkonspirasi, sedang ngomong sama harimau sedang kencan atau sedang mancing, aktor-aktor di film Ang Lee bisa menunjukkan ekspresi untuk membuat penontonnya merasa terhubung dan memahami dengan apa sebetulnya yang dialami dan dirasakan para tokoh di balik aksi yang sedang mereka lakukan. Adegan Pi dewasa dan si penulis ini merupakan kunci yang menjelaskan poin hasil rangkuman dari filosofi yang ingin disampaikan cerita film ini.  Dan kedua aktornya menyampaikannya dengan mulus. Imran Khan yang memerankan Pi dewasa tampil sebagai sosok bijak yang tidak sok, tidak berlebihan, juga tidak terasa menggurui.

Kesuksesan film ini tidak berarti bisa membuat orang-orang yang tidak percaya Tuhan menjadi percaya, tidak membuat yang tadinya fanatik jadi liberal, tidak membuat yang tadinya benci kucing jadi suka kucing, tidak membuat yang tadinya sekuler jadi relijius. Tapi, film ini menyampaikan apa yang ingin disampaikannya. Simpel.

Kembali ke Sandman. Komik ini bercerita tentang tokoh Sandman alias Dream. Hanya Dream saja, gak pake God, karena bukan dewa. Kadang disebut Dream Lord, Lord of the Dreaming. Dream ini punya 6 saudara lain yaitu dua kakaknya Destiny dan Death, lalu adik-adiknya: Destruction, Desire dan kembarannya Despair, dan Delirium yang sebelumnya adalah Delight.
Lengkapnya, yang pernah baca pasti hafal dan yang belum baca, silahkan baca. Kurang lebih latar cerita berkisar antara alam mimpi, alam dunia dari berbagai jaman, neraka, dan luar angkasa. Sandman bukan cerita yang gampang difilmkan, mungkin karena ceritanya terlalu kompleks, terlalu berat. Setelah baca berkali-kali untuk memahami isinya, tetap saja untuk membahasnya di tulisan ini pun saya belum sanggup. Yang pasti, di cerita Sandman banyak makhluk2 aneh, suasana alam yang aneh, kejadian2 aneh, dan perasaan serta pemikiran yang aneh2. Antara horor dan gore, mistis dan romantis. Memvisualisasikan Sandman menjadi film tanpa bikin (saya) ngantuk akan sangat susah.

Maka saya yang sok teu ini berkhayal bagaimana kalau Ang Lee yang menyutradarainya. Kisah Sandman dengan latar alam mimpi dan  tokoh2nya membutuhkan berbagai tampilan artistik dan teknologi CGI yang canggih. Tapi, bukan sekedar itu yang membuat saya menghayalkan Ang Lee menyutradarainya. Untuk makhluk2 aneh dan CGI suasana ajaib, saya yakin banyak sutradara lain yang bisa. Tapi sesuatu sentuhan bagi sisi kemanusiaannya lah yang justru tidak akan mudah. Transformasi karakter tokoh-tokohnya, khususnya tokoh Dream memerlukan pengolahan yang dalam. Saya masih tidak bisa membayangkan hasilnya tapi berharap Ang Lee bisa memberi kejutan2 yang lejat. Tentu dimulai dari kepiawaian penulis naskahnya yang harus bisa mengambil bagian2 penting, mengekstraksi esensi dari Sandman menjadi tontonan yang simpel tapi bermakna.

Yang saya khayalkan, kalau ada filmnya, bisa hanya kira2 satu segmen saja dari perjalanan Dream. Atau mungkin tidak perlu membuat bagian cerita dengan Dream menjadi tokoh utama. Satu hal yang unik dan spesial dari kisah-kisah Sandman ini adalah variasi cerita yang tidak akan pernah habis. Kalau Neil Gaiman masih meneruskan menulisnya, bisa masih ada banyak sekali yang bisa diceritakan lagi. Sebagaimana komiknya, ada plot utama berisi cerita Dream dan saudara-saudaranya, dan berbagai macam cerita-cerita pendek dengan tokoh utamanya bisa manusia, dewa-dewa, hewan maupun jin di berbagai masa di berbagai planet, dan  berbagai kepercayaan, maka untuk cerita filmnya pun bisa kaya sekali kemungkinan dan potensi bahannya.

Selanjutnya yang sangat penting, adalah pemilihan pemeran. Pada detik itu juga yang terlintas adalah : Chang Chen sebagai Dream. Lagi-lagi dengan alasan yang sangat dangkal karena baru terpesona melihatnya di   iklan minuman haram Chivas Regal yang disutradari Wong Kar Wai . Tapi, selain karena itu, kenapa Chang Chen?

Saya awalnya ( dan mungkin banyak orang?) membayangkan film Sandman dengan Johnny Depp sebagai Morpheus, sutradaranya mungkin Tim Burton. Referensi paling cocok adalah waktu dia jadi Edward Scissorhand,  Setidaknya rambutnya cocok. Tapi sayangnya belakangan ini Johnny Depp jadi terlalu lekat dengan Jack Sparrow dan karakter2 yang komikal. Dream memang tokoh komik, tapi dia sama sekali tidak komikal. Sementara filmnya Burton yang saya tonton terakhir ini adalah Dark shadow yang lucu awalnya tapi selanjutnya jadi menyebalkan.

Di buku-bukunya, Dream muncul dalam berbagai sosok, sesuai makhluk yang melihatnya.Saat berhadapan dengan kucing, dia berbentuk kucing, saat muncul di mimpi orang afrika, dia berkulit hitam, dan sebagainya. 
Komik Sandman digambar oleh banyak ilustrator sehingga penggambaran sosok Dream pun berbeda-beda tapi tidak menghilangkan karakter defaultnya: "Tall, thin and pale, black hair, and his eyes were stars in deep pool of dark water".
Secara fisik, Chang Chen cocoknya sebagai Dream dalam buku Sandman The Dream Hunter, saat Dream muncul dengan latar cerita Jepang.

      
Dream-japanese



Dream-default


Tapi, apapun variasi yang mungkin dijadikan film nantinya, kekuatan make-up artist akan punya peran sangat penting , sementara wajah asli aktornya  tidak penting selama punya kemampuan memancarkan wibawa dari sesuatu eksistensi yang telah berumur (sejak sebelum alam semesta terbentuk?) .

Chang Chen termasuk di antara aktor-aktor terbaik kelas atas Asia yang menjadi langganan sutradara-sutradara kelas atas. Karir Chang Chen melingkupi perfilman Taiwan, RRC, HongKong, Korea. Performa Chang Chen di setiap filmnya yang pernah saya tonton selalu bagus (Tercatat: Crouching Tiger Hidden Dragon, Happy Together, Chinese Oddissey 2002, 2046, Eros, Parking, Red Cliff I, red CLiff II ). Kemampuan akting tanpa banyak kata merupakan salah satu ciri khas untuk menandai kehebatan aktor Asia, dan Chang Chen adalah salah satu yang bisa tampil dengan sangat baik. Peran serius maupun komedi, brewok maupun klimis, cepak maupun gondring, galak maupun galau, Chang Chen selalu tampil dengan akting prima dan selalu ganteng.

Komentar pertama si Bambumuda tentang khayalan ini adalah Chang Chen tidak cocok karena dia itu terlalu “terang”, sementara Dream adalah tokoh yang gelap dan suram. Saya sepakat bahwa Chang Chen secara alaminya terang berkilau bahkan glow in the dark. Tapi dia pasti punya kemampuan meredupkan kilauannya itu untuk peran yang membutuhkan demikian.

Prikitiewwww…