Waktu menonton film Life of Pi, di tengah film terlintas di benak saya: Wow! sepertinya Ang Lee akan cocok kalau menyutradarai film adaptasi dari komik Sandman karya Neil Gaiman. Pendapat yang didasari alasan sederhana dan dangkal: (mungkin perlu spolier alert!!!???).................Begitu seekor ikan paus meloncat ke atas permukaan laut dengan gemerlap, gagah dan megah mendebarkan, saya langsung teringat monster laut di Sandman buku ke-8 : At World’s End..........
Melalui Life of Pi, Ang Lee berhasil memvisualisasikan adegan-adegan dengan suasana DREAMY secara luar biasa menakjubkan, dan percayalah, tidak butuh format 3D untuk menikmatinya. Gambar-gambar yang tadinya tidak terbayang bakal ada/ bakal kita lihat baik di dunia nyata maupun di film lain seolah menyihir penonton. Dari detik pertama frame pertama sampai detik terakhir frame terakhir, saya semakin yakin: Life of Pi istimewa karena Ang Lee, dan hanya Ang Lee yang bisa membuatnya demikian. Dan mungkin Cuma Ang Lee yang bisa memfilmkan Sandman.
Di antara kemegahan gambar dan unsur artistik film Life of Pi, yang paling membuktikan “kemasteran” Ang Lee menurut saya bukan sekedar efek –efek visual yang memesona tersebut, bukan sekedar keajaiban binatang-binatang laut dan ribuan meerkat di pulau ajaib yang bercahaya ajaib di malam hari, bukan teknologi CGI harimau yang begitu hidup, juga bukan akting Suraj Sharma yang sangat bagus walau merupakan pendatang baru tanpa latar belakang akting. Yang menurut saya paling hebat justru bagian adegan-adegan Pi dewasa dan si penulis novel, tentunya dalam keterkaitan sebagai bagian yang saling melengkapi dengan fase-fase lain di kehidupan Pi dalam film tsb.
Waktu mengintip trailernya yang menunjukkan Pi dewasa yang berbicara dengan si penulis novel, tampak sungguhlah tidak menarik, apalagi para pemerannya bukanlah aktor2 cakep yang saya favoritkan. Kemunculan mereka adalah bagian yang saya antisipasi akan membosankan. Tapi ternyata walaupun hanya memperlihatkan dua orang ngobrol sambil menyiapkan makanan, jalan2 ke taman sambil ngobrol lagi, dan makan sambil ngobrol lagi, sama sekali tidak membuat saya ingin berpaling dari layar.
Di sini lah kekuatan khas Ang Lee, seperti yang terlihat dari film-filmnya yang lain. Semua gerak-gerik dan olah tubuh, dilengkapi ekspresi yang begitu presisi sampai gerakan alis, kerutan keningnya, dan tarikan bibir, cara mendongak sampai cara mengetuk jari para aktor mencerminkan apa yang dialami dan dipikirkan para tokoh, dan semuanya bisa terlihat natural. Apakah mereka sedang berkungfu, sedang ngobrol santey sambil makan, sedang berkonspirasi, sedang ngomong sama harimau sedang kencan atau sedang mancing, aktor-aktor di film Ang Lee bisa menunjukkan ekspresi untuk membuat penontonnya merasa terhubung dan memahami dengan apa sebetulnya yang dialami dan dirasakan para tokoh di balik aksi yang sedang mereka lakukan. Adegan Pi dewasa dan si penulis ini merupakan kunci yang menjelaskan poin hasil rangkuman dari filosofi yang ingin disampaikan cerita film ini. Dan kedua aktornya menyampaikannya dengan mulus. Imran Khan yang memerankan Pi dewasa tampil sebagai sosok bijak yang tidak sok, tidak berlebihan, juga tidak terasa menggurui.
Kesuksesan film ini tidak berarti bisa membuat orang-orang yang tidak percaya Tuhan menjadi percaya, tidak membuat yang tadinya fanatik jadi liberal, tidak membuat yang tadinya benci kucing jadi suka kucing, tidak membuat yang tadinya sekuler jadi relijius. Tapi, film ini menyampaikan apa yang ingin disampaikannya. Simpel.
Kembali ke Sandman. Komik ini bercerita tentang tokoh Sandman alias Dream. Hanya Dream saja, gak pake God, karena bukan dewa. Kadang disebut Dream Lord, Lord of the Dreaming. Dream ini punya 6 saudara lain yaitu dua kakaknya Destiny dan Death, lalu adik-adiknya: Destruction, Desire dan kembarannya Despair, dan Delirium yang sebelumnya adalah Delight.
Lengkapnya, yang pernah baca pasti hafal dan yang belum baca, silahkan baca. Kurang lebih latar cerita berkisar antara alam mimpi, alam dunia dari berbagai jaman, neraka, dan luar angkasa. Sandman bukan cerita yang gampang difilmkan, mungkin karena ceritanya terlalu kompleks, terlalu berat. Setelah baca berkali-kali untuk memahami isinya, tetap saja untuk membahasnya di tulisan ini pun saya belum sanggup. Yang pasti, di cerita Sandman banyak makhluk2 aneh, suasana alam yang aneh, kejadian2 aneh, dan perasaan serta pemikiran yang aneh2. Antara horor dan gore, mistis dan romantis. Memvisualisasikan Sandman menjadi film tanpa bikin (saya) ngantuk akan sangat susah.
Maka saya yang sok teu ini berkhayal bagaimana kalau Ang Lee yang menyutradarainya. Kisah Sandman dengan latar alam mimpi dan tokoh2nya membutuhkan berbagai tampilan artistik dan teknologi CGI yang canggih. Tapi, bukan sekedar itu yang membuat saya menghayalkan Ang Lee menyutradarainya. Untuk makhluk2 aneh dan CGI suasana ajaib, saya yakin banyak sutradara lain yang bisa. Tapi sesuatu sentuhan bagi sisi kemanusiaannya lah yang justru tidak akan mudah. Transformasi karakter tokoh-tokohnya, khususnya tokoh Dream memerlukan pengolahan yang dalam. Saya masih tidak bisa membayangkan hasilnya tapi berharap Ang Lee bisa memberi kejutan2 yang lejat. Tentu dimulai dari kepiawaian penulis naskahnya yang harus bisa mengambil bagian2 penting, mengekstraksi esensi dari Sandman menjadi tontonan yang simpel tapi bermakna.
Yang saya khayalkan, kalau ada filmnya, bisa hanya kira2 satu segmen saja dari perjalanan Dream. Atau mungkin tidak perlu membuat bagian cerita dengan Dream menjadi tokoh utama. Satu hal yang unik dan spesial dari kisah-kisah Sandman ini adalah variasi cerita yang tidak akan pernah habis. Kalau Neil Gaiman masih meneruskan menulisnya, bisa masih ada banyak sekali yang bisa diceritakan lagi. Sebagaimana komiknya, ada plot utama berisi cerita Dream dan saudara-saudaranya, dan berbagai macam cerita-cerita pendek dengan tokoh utamanya bisa manusia, dewa-dewa, hewan maupun jin di berbagai masa di berbagai planet, dan berbagai kepercayaan, maka untuk cerita filmnya pun bisa kaya sekali kemungkinan dan potensi bahannya.
Selanjutnya yang sangat penting, adalah pemilihan pemeran. Pada detik itu juga yang terlintas adalah : Chang Chen sebagai Dream. Lagi-lagi dengan alasan yang sangat dangkal karena baru terpesona melihatnya di iklan minuman haram Chivas Regal yang disutradari Wong Kar Wai . Tapi, selain karena itu, kenapa Chang Chen?
Saya awalnya ( dan mungkin banyak orang?) membayangkan film Sandman dengan Johnny Depp sebagai Morpheus, sutradaranya mungkin Tim Burton. Referensi paling cocok adalah waktu dia jadi Edward Scissorhand, Setidaknya rambutnya cocok. Tapi sayangnya belakangan ini Johnny Depp jadi terlalu lekat dengan Jack Sparrow dan karakter2 yang komikal. Dream memang tokoh komik, tapi dia sama sekali tidak komikal. Sementara filmnya Burton yang saya tonton terakhir ini adalah Dark shadow yang lucu awalnya tapi selanjutnya jadi menyebalkan.
Di buku-bukunya, Dream muncul dalam berbagai sosok, sesuai makhluk yang melihatnya.Saat berhadapan dengan kucing, dia berbentuk kucing, saat muncul di mimpi orang afrika, dia berkulit hitam, dan sebagainya.
Komik Sandman digambar oleh banyak ilustrator sehingga penggambaran sosok Dream pun berbeda-beda tapi tidak menghilangkan karakter defaultnya: "Tall, thin and pale, black hair, and his eyes were stars in deep pool of dark water".
Secara fisik, Chang Chen cocoknya sebagai Dream dalam buku Sandman The Dream Hunter, saat Dream muncul dengan latar cerita Jepang.
Dream-default |
Tapi, apapun variasi yang mungkin dijadikan film nantinya, kekuatan make-up artist akan punya peran sangat penting , sementara wajah asli aktornya tidak penting selama punya kemampuan memancarkan wibawa dari sesuatu eksistensi yang telah berumur (sejak sebelum alam semesta terbentuk?) .
Chang Chen termasuk di antara aktor-aktor terbaik kelas atas Asia yang menjadi langganan sutradara-sutradara kelas atas. Karir Chang Chen melingkupi perfilman Taiwan, RRC, HongKong, Korea. Performa Chang Chen di setiap filmnya yang pernah saya tonton selalu bagus (Tercatat: Crouching Tiger Hidden Dragon, Happy Together, Chinese Oddissey 2002, 2046, Eros, Parking, Red Cliff I, red CLiff II ). Kemampuan akting tanpa banyak kata merupakan salah satu ciri khas untuk menandai kehebatan aktor Asia, dan Chang Chen adalah salah satu yang bisa tampil dengan sangat baik. Peran serius maupun komedi, brewok maupun klimis, cepak maupun gondring, galak maupun galau, Chang Chen selalu tampil dengan akting prima dan selalu ganteng.
Komentar pertama si Bambumuda tentang khayalan ini adalah Chang Chen tidak cocok karena dia itu terlalu “terang”, sementara Dream adalah tokoh yang gelap dan suram. Saya sepakat bahwa Chang Chen secara alaminya terang berkilau bahkan glow in the dark. Tapi dia pasti punya kemampuan meredupkan kilauannya itu untuk peran yang membutuhkan demikian.
Prikitiewwww…
No comments:
Post a Comment