Sunday, April 25, 2010

Impresario's Decision

While immortalized in numerous still photographs, no film exists of Nijinsky dancing. Diaghilev never allowed the Ballets Russes to be filmed. He felt that the quality of film at the time could never capture the artistry of his dancers and that the reputation of the company would suffer if people saw it only in short jerky films.
(www.russianballethistory.com)

They are now the creatures of Lord Morpheus and continue to live and perform their beauty in his realm.


You are the spirit, you are the perfume
You are the shadow that waltz around my dream

Thursday, April 08, 2010

Kenapah sayah tidak bisa menyukai sinema Korea

Sepasang kekasih terpisah karena masalah politik, ras, yang mengakibatkan dendam berbalasan, pertumpahan darah dan berbagai huru-hara. Si wanita melahirkan anak kekasihnya itu dalam pernikahan tanpa cinta karena dipaksa orang tua, Akhirnya mereka bertemu lagi, dalam suatu pertarungan nan heboh plus dilematis. Familiar? tertebak? tipikal? cheesy? Oh yeah, Bichunmoo kombinasi cerita semacam Count of Monte Cristo dan berbagai model film Kungfu Hong Kong. Tapi mungkin ramuan ala korea membuatnya jadi "istimewa": Si tokoh Wanita yang melihat kekasih cinta sejatinya itu dalam keadaan tertusuk dan sekarat, menghambur ke pelukan mantannya itu, menusukkan dirinya ke ujung pedang (atau anak panah ya??) yang mencorong keluar dari tubuh si tokoh pria. Dan mereka pun mati bersama dalam adegan berpelukan penuh air mata sedih bercampur bahagia karena akhirnya disatukan. Tamat. Tragis? Romantis? Bodoh.

Kejadian itu dilakukan di depan anak mereka, yang menjerit melihat tindakan ibunya. Anak lelaki usia ABG, yang secara logika akan menanggung trauma seumur hidup melihat kedua orang tuanya mati bersama oleh pasukan anak buah kakeknya. Dan sang ibu sendiri yang memilih untuk tidak lagi membesarkan dia . Okay. Cukup. Seketika itu saya kehilangan rasa tertarik terhadap film Korea.


Sinema Korea menyusup dan meledak di Indonesia dan dunia, sejak tahun 2002, yaitu waktu piala dunia digelar di Jepang-Korea. Dimulai dari sinetron Endless Love. Begitu gampang menyukainya: Pemainnya cantik-cakep, ceritanya mengharu-biru, konfliknya tidak hanya percintaan, tapi juga masalah keluarga dan pekerjaan dengan komplikasi tinggi, membuat gemas dan penasaran.

Sayangnya saya tidak ikut-ikutan termakan dan terhanyut oleh Korean Wave yang makin mengglobal ini. Menonton Endless love sepotong-sepotong tidak membuat saya penasaran ingin menonton keseluruhan. Satu-satunya yang saya tonton lengkap, dengan cara menyewa VCDnya adalah sinetron seri Hotelier. Menurut saya sinetron satu ini sungguh istimewa, stylish, karakter-karakternya menarik, jalan ceritanya ouch ouch ouch....Bae Yong Jun yang tampan jelita hanyalah salah satu penambah rasa. Semua tokohnya berkarakter kuat, bahkan para antagonis dan pemeran pendukung, hanya saja Son He Kyo terlalu imut-manis-madu. Loyalitas akan profesi seperti yang biasa kita temukan di film Jepang, dihadirkan dengan permainan emosi, komedi dan konflik humaniora ala korea.

Bukannya saya tidak mencoba dan memberi kesempatan buat yang lain. Sinetron BYJ lain yg sempat tayang di TV terasa terlalu mellow, tidak sanggup saya mengikutinya. Beberapa serial lain walau memang saya akui sangat seru, banyak yang tragisnya itu mendekati menyebalkan, terasa terlalu memanipulasi. Yang lucu juga banyak, tapi kadang bisa sangat ekstrim, dari yang lucu menggemaskan romantis, lalu ujung-ujungnya menjebak dengan tragis. Oh gak kuat deh..

Di sekitar awal masa booming itu lah saya menemukan film Bichunmoo yang tampak menarik. Gambar sampulnya menunjukkan ini semacam film kungfu berlatar sejarah, kolosal, dengan kostum dan sinematografi artistik yang bakatnya romantis, dan tragis dll. Namun seperti yang saya ceritakan di atas, film ini justru sempat membunuh minat saya selanjutnya.

Film panjang yang pernah saya beri kesempatan untuk ditonton kumplit adalah My Sassy Girl, Saya suka, walau bukan tipe yang akan saya koleksi dan tonton berulang-ulang. Lalu yang pernah ditonton di ruang santai LFM, film unik judulnya Ditto , tentang permainan dimensi waktu yang bikin capek logika, mungkin idenya tidak original, tapi film ini lumayan menarik. Cukup dengan My Sassy Girl dan Ditto, saya sudah bisa menyimpulkan dari sinopsisnya bahwa The Lake Housenya Sandra Bullock itu adalah remake film korea, sebelum menonton dan membaca info lain mengenai film tersebut. Entah bagaimana mendefinisikannya, walau tanpa banyak referensi, yang namanya nuansa film korea bisa begitu terasa dan terbayang khasnya. Sampai saya curiga Christopher Nolan pun terinspirasi kisah cinta ala film Korea untuk bumbu percintaan (yang oh tragisnya) di Batman the Dark Knight .

Beberapa waktu yang lalu beberapa teman merekomendasikan film The Restless. Awalnya saya tidak berminat karena penampilannya mirip Bichunmoo, film jenis costume swordplay. Tapi saya coba juga.
Film dengan efek visual yang canggih. Permainan CGI dan hasil render yang menarik indah di mata. Ceritanya fantasi mistis, tentang alam kematian, setan vs malaikat, perjalanan arwah, dan cinta yang terpisahkan, nilai luhur perjuangan, berbagai aksi pertarungan yang spektakuler dan artistik. Lumayan menarik idenya. Tapi pamaehnya adalah para pemeran yang emosinya terasa hambar. Betapa film ini membuat saya semakin menghargai The Promise karya Chen Kaige dengan segala kedudulan CGI, justru para tokohnya lah yang memiliki kekuatan. Bahkan karakter yg dimainkan musuh bebuyutan saya, Cecilia Cheung (cih..), jadi terasa jauh lebih berkualitas dan berisi dibandingkan karakter utama wanita di film The Restless.

Didukung oleh pemerintah dan pemilik dana, perfilman Korea Selatan memang maju pesat bahkan sudah melibas seniornya, perfilman Hongkong yang mengalami kemunduran drastis di dekade terakhir ini. Sekian banyak alasan untuk mengacungkan jempol, mungkin teman-teman penggemar bisa mendefinisikan berbagai alasan tersebut. Dari hasil membandingkan film-film yang disebut di atas dan beberapa sinetron dan film korea lain yang tertonton sekilas (memang baru dengan referensi terbatas ini), saya menemukan suatu kesimpulan: Mereka telah mampu secara teknis dan dana untuk membuat film dengan sinematografi indah dan CGI canggih. Juga memiliki kemampuan (yang luar biasa) untuk membuat film dan sinetron yang menyentuh emosi dan pikiran kita tanpa perlu high budget. Sayangnya, mereka belum berhasil membuat rumus yang pas untuk mengkombinasikan kedua aspek tersebut dengan baik. Belum ada sutradara sekaliber Chen Kaige dan Zhang Yimou yang berhasil mewujudkan kemegahan sinema dan keindahan gambar, dengan tetap memiliki kedalaman cerita dan kualitas akting.
Belum, mungkin nanti akan ada. Dan mungkin akan ada film yang tanpa sengaja saya tonton dan ternyata jadi favorit.

Wednesday, April 07, 2010

Written By---mempermainkan alam kematian??



Written By, film karya sutradara Wai Ka Fai, bukanlah film sembarangan karena memiliki keunikan sendiri dalam bercerita tentang kematian. Film ini jelas berisi cerita fantasi, seperti film-film lain yang bermain dengan alam kematian, tapi Written By lebih masuk di akal. Masuk akal? ya, karena sebetulnya bukan berisi cerita mengenai kematian dan orang yang sudah mati, apalagi tentang arwah yang masih bisa punya kesempatan extra di kehidupan dunia. Written By bercerita tentang yang hidup. Bagaimana yang tertinggal di dunia bertahan menghadapi kehilangan orang-orang yang dicintainya.

Sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawa seorang ayah, meninggalkan isteri, satu anak lelaki dan satu anak perempuan. Bertahun-tahun berlarut dalam kesedihan, keluarga itu menemukan cara mengobatinya. Si anak gadis yang buta akibat kecelakaan itu, Melody, menulis novel tentang kejadian kecelakaan tersebut, tapi keadaannya terbalik. Di alam novelnya, si ayah yang hidup, mereka semua lah yang tewas.

Konsep utama film ini sebenernya adalah quote standard yang sering kita dengar, baca atau tonton: "Yang mati akan tetap hidup di dalam kenangan dan pikiran yang masih hidup". Yang mati tetap hidup di dalam pikiran, di dalam tulisan, di dalam gambar, dan seperti yang tervisualisasikan di sini, yang mati menjadi begitu hidup di dalam film.

Cerita berkembang menjadi novel di dalam novel, seperti mimpi di dalam mimpi, seperti cerita seribu satu malam. Seperti World's End karya Neil Gaiman. Persinggungan antara yang hidup dan yang mati, yang tokoh novel dan yang tokoh "nyata". Ada beberapa poin yang janggal dan tampak konyol. Seperti kemunculan tokoh Meng Phor (??) mungkin semacam dewi kematian, atau pengurus roh yang sudah mati. Dan yang tidak kalah konyol, visualisasi alam kematian membuat film ini jadi sempat terasa selevel dengan Tiramisu dan Fly Me To Polaris. Tapi untungnya, masih banyak komponen filmnya yang begitu elegan dan kembali menaikkan levelnya. Akting Lau Ching Wan sebagai sang ayah adalah jaminan kualitas. Kelly Lin sebagai sang ibu pun tampil cukup menyentuh. Sayangnya Mia Yam sebagai Melody yang merupakan tokoh sentral kurang berhasil menyampaikan emosi karakternya. Selain karena kehambaran Melody, terasa skenarionya pun tidak bertujuan memanipulasi perasaan, maka kita tidak perlu sampai berurai air mata menonton kisah tragis di sini.

Kemungkinan besar selama durasi film, penonton akan semakin merasa kelelahan untuk memahami dan kehilangan kontrol akan plot utama, bingung yang mana yang "kenyataan" yang mana yang novel, mana yang film. Tapi dengan cukup kita ikuti saja, tak perlu dipaksakan untuk dimasukkan ke logika, kita cukup terhibur dan tersentuh dalam kreativitas narasi film ini. Toh ini cuma film.


PS:Kelly Lin cantik banget
Lau Ching Wan aktor yang hebat, walaupun tidak ganteng.


Beberapa tahun yang lalu saya pernah menyimpulkan bahwa film Asia -->Cina --->Hongkong memiliki keberanian ekstra dalam menceritakan tentang kematian dan alam kematian. Selain beberapa jenis jenis film horor, referensi utama saya adalah..umm... dua film yang dibintangi NICHOLAS TSEEEE: Tiramisu dan 2002 dan film yang dibintangi isterinya: Fly Me to Polaris (cih..). Film-film yang terasa sembarangan, seenaknya saja bikin-bikin cerita, namun berhasil dalam kemasan menjadikannya tontonan yang populer karena cukup menghibur.