Wednesday, November 15, 2006

The Departed & IA

Infernal Affairs fans claim The Departed as a failure. The Departed fans who definitely watch it before the original work, claim Infernal Affairs as a slow, boring and sappy movie. I like both movies. For sure, each of them have their own unique style, despite the remaining questions: Why remake? Does Scorsese really deserve an Oscar for this one, not for his other works? Why don’t they make they own story?
Well, the answers are just what we already knew.... They already run out of ideas and the Academy Award was political as always. I think they won’t let Babel, (a much, much better and unique story in my opinion) with the Mexican director won, and Scorsese had missed some Oscars he deserved for his previous movie.
Though I like both movies, Infernal Affairs is the special one. And this song is one of the reasons that make Infernal Affairs better than the remake. This is the background song for the most tragic and painful death scenes I ever seen in a movie. Just.. tragic and painful. The Departed doesn’t have this kind of mood.

Thursday, November 09, 2006

The Remake


Kunjungan terbaru ke bioskop: bersama bambumuda nonton “The Departed”.
Tentunya film ini sudah cukup menarik dengan title Directed by Martin Scorsese dan ada Jack Nicholson. (Leonardo dan Matt Damon mah.. hmm…).

Waktu tahu kalau film ini adalah remake dari trilogi “Infernal Affairs”, saya jadi makin antusias dan excited. Penasaran habis-habisan(bertolak belakang dari waktu mendapat berita remake The Ring)! Dari awal bertekad membuat resensi perbandingannya, tapi malah lambat banget, keduluan si Hyoutan, materinya sama, dan jadinya cuma macam begini:

Hasil menonton The Departed di Blitz Megaplex (sekalian promosi):
SUKA BUANGETT SEKALI PISAN!!

Bagi saya, trilogi Infernal Affairs adalah “The Ultimate Hongkong Style” (apa maksutnya yah.. ) yang sangat saya rindukan. Dengan segala intrik, dilema, konflik emosional, ketegangan, dan tak perlu disebut lagi para pemerannya yang ganteng, karismatik, tambah lagi sinematografi dan soundtracknya. Serba hebat pada kesan pertama, tapi merupakan tipe film yang menuntut pengumpulan kekuatan lagi untuk menontonnya, karena cerita yang sangat bikin senewennnnn, walaupun sekaligus juga membuat rindu.

Dan versi Martin Scorsese, punya gayanya sendiri. Yah, dia punya gaya yang memikat dalam karya-karyanya. Cukup konsisten dan membawa karakter sendiri yang berbeda dari versi HongKong.

............................
Tapi tentu saja bagimanapun, aku jauh lebih cinta versi aslinya, dengan alasan-alasan berikut:

1. Tony Leung (sebagai Yan Chan Wing) dan Andy Lau (sebagai Ming Lau Kin)! Mereka jelas sangat sesuai dengan karakter masing-masing di fim itu, selain berpengalaman untuk peran dan film semacam ini dan jam terbang mereka di pefilman Hongkong yang sangat menguji bakat dan ketabahan untuk mematangkan kualitas akting. Anthony Wong dan Eric Tsang sangat karismatik dan juga tidak diragukan lagi, sangat tepat untuk karakter yang diperankan masing2. Jack Nicholson seperti biasa tampil berkharisma, Martin Sheen terlalu tua, Di Caprio dan Matt Damon rasanya hambar dan tidak indah di mata (subjektif pisan)

2. Sinematografi karya Andrew Lau dan Christopher Doyle.. gak ada matinye dah! Indah, mencekam, menggetarkan, dengan frame-frame kojo yang khas. Versi Scorsese: Beda gaya, tidak indah tapi lebih membumi dan lebih terasa kekerasannya.

3. Konflik emosional yang terbangun. Dalam The Departed (T.D.), ada isu2 yang hanya selintas seperti krisis identitas kedua tokoh. Padahal dalam Infernal Affairs ( I.A.) tokoh Ming terlihat tenggelam dalam dilema antara keinginan eksis sebagai polisi dan tugas penyamarannya sebagai mata-mata para gangster. Pada Colin (Matt Damon) tidak terlalu terlihat. Demikian juga dilema pada tokoh Yan yang terlalu lama menyamar dan menjadi orang kepercayaan Sam, kepala triad. Tokoh William/ Billy (Leonardo DiCaprio) terasa lebih tersorot daripada karakter Colin, namun masih terasa jauh daripada karakter yang ditampilkan Tony Leung. Salah satu penyebabnya mungkin karena T.D. terlalu dipadatkan untuk mencakup keseluruhan tiga film I.A.

4. SUSPENSE!!! Sekali lagi, mungkin karena waktunya tidak cukup, adegan-adengan andalan menegangkan tidak terfasilitasi di T.D., seperti waktu rombongan triad dibuntuti para polisi.

5. Tokoh wanita!! Di T.D., Colin dan William tertarik dan terlibat dengan wanita yang sama. Mungkin maksudnya membuat keterkaitan antara kedua tokoh itu, yang tidak diperlihatkan pernah bertemu sebelumnya, apalagi berkomunikasi. Hal ini sebetulnya tidak begitu penting. Dalam I.A., para tokoh wanita tampil hanya sebagai "pelengkap" kisah kehidupan Yan dan Ming yang termasuk dalam skenario film. . Infernal Affairs, menampilkan Yan dan Ming sebagai tipe pria yang terhanyut sekaligus terjebak dalam tugas. Karena itu, memang tidak perlu kalau kisah cinta mengambil porsi yang besar dalam film ini, walaupun tetap ada dan masing-masing memiliki pasangannya dengan masalah yang berbeda. Keterkaitan antara Yan dan Ming sudah terasa dalam adegan-adegan di akademi kepolisian, walaupun tanpa ada kontak langsung antara mereka berdua
di masa itu.
..................................

Kesimpulannya, menonton The Departed di bioskop sangat tidak mengecewakan. Membandingkan The Departed dan Infernal Affairs adalah hal yang menyenangkan. Sayangnya, aksi pihak Hollywood yang sudah kehabisan cerita dan semakin sering (sepertinya dari dulu juga sudah banyak dilakukan) meremake film-film negara lain, terutama dari Asia, membuat pembatasan wawasan budaya baik bagi bangsanya sendiri, bangsa-bangsa lain, terutama bangsa-bangsa korban budaya Amerika (termasuk Indonesia).

Kenapa di Amerika film The Departed dipuja-puji, malah banyak yang menganggap lebih bagus daripada versi Aslinya. Bagaimana nilai untuk ide cerita dan konflik serta intrik super canggih yang tidak akan ada di film mafia Hollywood manapun, bahkan di karya Scorsese dan Coppola sekalipun?

The Ring hollywood begitu dikagumi sebagai film horor yang sangat menegangkan dan berbeda dari bisanya. Please deh, yang membuatnya berbeda adalah keunikan cerita dan gaya horor yang asalnya dari manaaaa???? Tambah lagi, The Ring Amerika memiliki kesalahan fatal yang merusak keistimewaan horor unik trilogi The Ring Jepang.

NB: Jangan dilewatkan menonton prequel dan sequelnya Infernal Affairs juga !
biar lengkapp kapp

Wednesday, November 08, 2006

Janjimu..(ini judul memadu pisan)

Ekspektasi terlalu tinggi terhadap suatu film, mungkin akan membawa kekecewaan. Dan itu terjadi cukup sering, tapi tidak selalu.

Film The Promise mengandung janji. Salah satu sutradara favorit, aktor favorit, dan mimpi big budget. Tapi, karena khawatir kecewa, ketika gaungnya film itu tidak terlalu terasa setelah releasenya, saya tidak begitu bersemangat juga walaupun tetap penasaran. Dan, ketika akhirnya bisa menyempatkan waktu menontonnya....


Konon, sang sutradara berniat untuk membuat film epic fantasy penuh action, yang tetap memiliki esensi cerita yang menyentuh. Ternyata, film ini didera banyak kritik. Mungkin karena high expectation tadi. Pertama, efek-efek CGI yang gagal. Kedua, ada juga yang mencela kemunculan aktor tertentu di film itu. Lalu yang ketiga, ceritanya juga tidak semenyentuh yang diharapkan, apalagi dengan action2 yang ada. Really?

Ternyata, menurut saya sih tidak seperti itu. Memang, animasi CGI yang ada agak merusak keindahan gambar2 yang seharusnya muncul. Ah, itu Cuma masalah ketertinggalan teknologi. Lalu, setelah mendalami lebih jauh..... Yep! LLLLLOOOOVING IT! Bagi saya, tidak seperti film House of Flying Dagger, The Promise justru bisa membekas di pikiran, dan menimbulkan keinginan menontonnya beberapa kali.

Wu ji

The Promise (International: English title) (Singapore: English title)

Master of the Crimson Armor (USA) (pre-release title)
Mo gik (Hong Kong: Cantonese title)

Directed by
Kaige Chen

Writing credits
Kaige Chen

Credited cast:

Dong-Kun Jang .... Kunlun
Hiroyuki Sanada .... General Guangming
Cecilia Cheung .... Princess Qingcheng
Nicholas Tse .... Wuhuan
Ye Liu .... Snow Wolf
Hong Chen .... Goddess Manshen
Cheng Qian .... The Emperor

Anthony Wong .... (voice)


Di sebuah negeri antah berantah, di jaman entah kapan, seorang jenderal ternama Guang Ming (Hiroyuki Sanada) yang terkenal sebagai tentara berdarah dingin dan dijuluki Master of the Crimson Armour* (* baju perang kehormatan Sang Jenderal), yang dapat mengorbankan apa saja demi membuka jalan kemenangan perang, membuat taruhan dengan seorang jin/ peri/ dewi(??) yang tampaknya punya hobi iseng mengusik kehidupan manusia. Guang Ming yang tidak percaya akan visi takdirnya yang diperlihatkan sang dewi, yakin bahwa ia mampu merubahnya. Namun ia mengambil jalan yang salah untuk memenangi taruhan tersebut. Guang Ming mengirim budaknya, Kun Lun (Jang Don Gun), untuk suatu misi menyelamatkan raja, yang malah berakhir dengan Kun Lun membunuh raja yang tidak dikenalnya karena tampak sedang membahayakan Putri Qin Cheng, selir sang raja.


Cerita berlanjut dalam kompleksitas perasaan ketiga tokoh. Qin Cheng jatuh Cinta pada orang yang menyelamatkannya, yang ia kira adalah Jenderal Guang Ming dibalik crimson armour dan topengnya. Kun Lun yang berkali-kali terlibat misi penyelamatan putri, perlahan mulai memupuk perasaan cinta pada Putri tanpa ia pahami. Sementara Guang Ming, yang menjadikan Putri sebagai salah satu kemenangan baginya, terjebak pula dalam dilema kebohongan dan perasaan.


Saingan Guang Ming yang bermaksud merebut kekuasan setelah kematian Raja adalah seorang pemuda yang kejam, Wuhuan (Nicholas Tse). Ia berniat merebut Crimson Armour dari Guang Ming, dan juga tampak memiliki obsesi tersendiri terhadap Qin Cheng. Wuhuan memiliki kekuatan mengendalikan seorang pembunuh bayaran, Snow Wolf, yang ternyata berasal dari kampung halaman yang sama dengan Kun Lun. Usaha Snow Wolf membantu KunLun mengancam nyawanya sendiri. Konflik berkembang antara perebutan kekuasan, harga diri dan eksistensi.


Walaupun jalan ceritanya memang cenderung seperti dipaksakan, namun cukup bisa diterima dalam keterkaitan kejadian sebagai rangkaian masalah yang muncul. Kejadian demi kejadian, termasuk masa lalu yang dialami para tokoh bisa dipahami sebagai pengaruh yang mentransformasi karakter mereka. Terutama pada tokoh Guang Ming, Hiroyuki Sanada sangat cocok menampilkan sang Jenderal yang angkuh penuh wibawa sampai Guang Ming yang perlu diberi simpati namun masih memiliki dignity.


Nicholas Tse, yang lebih cocok tampil sebagai anak muda generasi 2000-an atau polisi keren, atau penyanyi idola, dengan kostumnya di film ini tampak super aneh dan bisa jadi bahan tertawaan. Bagaimanapun, ia tampil cukup berkarakter untuk perannya yang berbeda dari biasa ini, dan as charming as usual! Salah satu kekurangan justru pada pemeran putri Qin Cheng....Cecilia Cheung memang manis cantik dan lembut, lalu dapat pula tampak angkuh dan misterius. Tetapi, ia tidak cukup mampu menampilkan emosi yang seharusnya sangat kompleks pada Qin Cheng sehingga terasa kurang kuat untuk sampai pada penonton. Sebagai inti dari berbagai konflik dalam kisah ini, karakter Qin Cheng menjadi terasa hambar.


Dalam keabsurdan fantasi yang ada, mari mencoba mendalami esensi emosional yang ingin disampaikan. Kompleksitas perasaan para tokoh timbul tanpa jawaban yang pasti bagi para penonton. Salah satu ciri khas yang sering muncul di film Cina-Hong-Kong dan sebangsanya.


Dan itulah bagian yang paling saya suka.


Thursday, November 02, 2006

Wednesday, August 30, 2006

KSATRIA WANITA



Tadinya mau posting tulisan lama ini dalam rangka ikut menggaringkan hari Kartini dan isu-isu di belakangnya. Tapi ga penting, jadi ya mau apapun alasannya tetep aja diposting ah.. biarpun dah ketunda lama

PEKING OPERA BLUES
1984, HONG KONG. Starring Brigitte Lin, Cherie Chung, Sally Yeh, Wu Ma, Mark Cheung.

Directed by Tsui Hark.


Tersebutlah tiga orang wanita, tiga macam karakter dengan latar belakang dan impian masing-masing. Dalam waktu singkat, tanpa kesengajaan mereka saling mengenal dan menjadi tiga orang sahabat dengan satu tujuan yang sama.

Saat itu tahun 1913, dua tahun setelah keruntuhan kekaisaran Cina, kondisi politik masih tidak stabil. Para Jenderal di Peking berebut dominasi, dan Presiden saat itu - Presiden Yuan - memiliki maksud untuk menjadi penguasa permanen di negara itu dengan bantuan pihak asing.

Tsao Wan (Brigitte Lin) yang baru pulang dari sekolah di luar negeri adalah putri tunggal seorang Jenderal yang baru berkuasa di Peking di tengah gonjang-ganjing politik masa itu. Ia bergabung dengan kelompok gerilyawan revolusioner untuk membuktikan konspirasi yang dilakukan Presiden. Kunci dari misinya adalah mencuri sebuah dokumen penting dari tangan ayahnya sendiri, yang terlibat dalam konspirasi politik itu. Sheung Hung (Cherie Cheung) adalah anggota kelompok pemain musik keliling yang memanfaatkan kekacauan saat terjadi kudeta di istana jenderal untuk mencuri sekotak perhiasan, dan Pat Nell (Sally Yeh) adalah putri tunggal dari pemilik kelompok opera tradisional di Peking. Pat Nell yang dibesarkan bersama kelompok opera selalu ingin ambil bagian dari pertunjukan. Namun, ia harus mematuhi ayahnya yang selalu melarangnya dengan keras karena pada masa itu seorang wanita tidak boleh tampil di panggung –bahkan, menonton di gedung opera juga terlarang bagi wanita.

Berbagai kebetulan mempertemukan tiga wanita ini. Bersama seorang anggota golongan revolusioner, Pak Hoi (Mark Cheung), dan Tung Man --seorang mantan prajurit yang juga kebetulan bergabung— mereka saling membantu dalam pencurian dokumen penting itu. Tanpa sengaja, Sheung Hung dan Pat Nell ikut mengemban misi demokrasi yang dibawa Tsao Wan, sementara Tsao Wan juga membantu mereka dalam mewujudkan cita-cita pribadi mereka. Mereka sempat bertengkar hebat karena saling curiga, namun kembali saling menyelamatkan dalam misi yang penuh bahaya itu.

Film Peking Opera Blues mengangkat perjuangan dan keberanian dari para tokoh wanita untuk mewujudkan cita-citanya pada masa, tempat dan budaya yang begitu membatasi mereka.
Dalam segala keterbatasannya, ternyata wanita juga bisa memaksimalkan kekuatan dan kecerdasannya untuk mewujudkan tujuan.

Karakter pada ketiga tokoh mungkin terbentuk karena kehidupan yang lebih dekat dengan dunia pria. Tsao Wan dan Pat Nell adalah putri tunggal yang sudah tidak memiliki ibu, sehingga mereka banyak meneladani kehidupan ayahnya. Sheung Hung mungkin sudah lama hidup tanpa orang tua sehingga harus menjadi wanita yang mandiri untuk bertahan hidup di dunia yang dikuasai pria itu. Tsao Wan adalah tokoh dengan dilema paling berat karena mesti mengkhianati ayahnya demi cita-cita demokrasi. Walaupun begitu, ketiga tokoh wanita di sini tampil sama dominannya.

Ketiga pemeran tampil memikat untuk memunculkan karakter yang berbeda dari masing-masing tokoh yang sama-sama merupakan wanita kuat dan mandiri. Tsao Wan memiliki kecerdasan dan keteguhan untuk idealismenya, walau tampak sangat terguncang ketika menghadapi situasi pertentangan dengan ayahnya. Sheung Hung adalah wanita yang cerdik dan matre, karena keinginannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, tidak sekedar pemusik yang sering dilecehkan (oleh pria), sedangkan Pat Nell merupakan tokoh yang lebih polos dan tulus. Disamping mereka bertiga, penokohan untuk peran-peran kecil maupun tokoh antagonisnya pun tampil dengan karakter yang kuat.

Sempat terjadi main mata antara Sheung Hung dengan Tung Man, juga Pat Nell dengan Pak Hoi. Antara Tsao Wan dan Pak Hoi juga sekilas tampak ada ikatan emosional yang sepertinya membuat Pat Nell cemburu. Tetapi, permasalahan ini tidak dan memang tidak perlu diangkat lagi. Tampaknya mereka --dan juga penonton-- tidak punya waktu untuk mengurus kisah cinta. Kesetiakawanan dan kepercayaan diantara mereka berlima sudah cukup untuk keberhasilan misi yang diemban bersama.

Gedung pertunjukan opera merupakan lokasi pusat konflik di film ini, karena merupakan tempat yang sangat penting bagi para tokoh. Gedung itu menjadi tempat menjalankan beberapa strategi, juga sebagai tempat bersembunyi dan menyamar menjadi aktor di panggung ketika menghindari sekelompok petugas yang hendak menangkap mereka. Berbagai kekacauan terjadi di sini, mulai dari kacaunya pertunjukan sampai rusaknya gedung opera akibat pertarungan.

Dalam film ini kita disuguhi beberapa pementasan opera tradisional yang tampak begitu meriah, dengan setting dan kostumnya yang lengkap. Adegan-adegan dan karakter di film ini juga sebenarnya banyak mengandung aspek simbolik yang terkandung pada berbagai pertunjukan opera Cina. Ketiga tokoh wanita mencermikan karakter prajurit wanita dari opera Dao Ma Dan , dan banyak lagi simbolisasi lain.

Banyak komedi, drama dan berbagai ketegangan dihadirkan film karya Tsui Hark ini. Penonton seolah terus digerakkan dengan berbagai adegan yang tak pernah kehilangan irama dan tanpa satu momen pun yang pantas untuk disia-siakan. Banyak adegan menampilkan hal-hal tidak terduga, termasuk gaya berkelahi yang unik dengan aksi-aksi spektakuler yang menjadikannya tontonan action yang segar dan khas. Di samping itu ada juga beberapa adegan kekerasan yang menggetirkan.

Bila Tsao Wan melihat situasi di kenyataan masa sekarang, mungkin ia bisa berbangga karena wanita sudah banyak yang terjun ke politik dan memperjuangkan demokrasi serpti dirinya. Di samping itu, ia juga bisa sangat sedih karena masih banyak perjuangan para wanita dibalas dengan kekerasan dan pelecehan. Hal demikian juga mungkin dirasakan Pat Nell dan Sheung Hung

Ketika Pat Nell dan Sheung Hung tampil di panggung, seorang Jenderal penguasa yang menontonnya terpikat dan menginginkan mereka menemaninya pada malam hari. Menghadapi hal ini, ayah Pat Nell berkomentar: “..kalau wanita mulai bekerja, hal seperti ini pasti terjadi…”. Dengan pernyataan ini, mungkin dari sanalah muncul alasan yang kuat untuk melarang wanita bekerja, terutama untuk tampil di panggung. Apapun alasannya tampil, mereka hanya akan dipandang sebagai objek oleh pria. Sekarang, wanita memiliki kebebasan bekerja, bahkan menjadi bintang pentas, baik untuk mengekspresikan dirinya, menghibur penonton dan entah tujuan apa lagi dengan penampilan yang semakin berani. Mudah-mudahan, kaum pria sekarang sudah bisa tahu diri, atau para wanita yang tampil sadar apa yang mereka pertontonkan.

---Ramala Pualamsari---
29 Jan 2003

Tuesday, August 22, 2006

Romola & Romola



Romola de Pulszky adalah putri bangsawan di Hungaria dengan ibu seorang aktris terkenal pada masanya. Seperti wanita2 bangsawan terpelajar, ia dididik seni, budaya dan bahasa. Romola fasih berbahasa Magyar, Inggris dan Perancis. Ia belajar ballet dan akting. Tak lama sejak debut aktingnya di panggung Budapest, Romola memutuskan beralih profesi, kembali mempelajari ballet demi obsesinya pada seseorang. Orang itu adalah Vaslav Fomitch Nijinsky, seorang penari ballet legendaris yang pada masa itu (1912) sedang berada di puncak kejayaannya.
.......................
Ayah Romola seorang bangsawan yang penuh masalah. Konon ia sampai bunuh diri saat Romola masih remaja. Ibunya kemudian menikah lagi dengan seorang pengusaha. Romola, yang ingin bebas dari dominasi ibunya, di usia tujuh belas tahun mengambil keputusan besar dalam hidupnya ketika tanpa dia sangka Nijinsky melamarnya. Hubungan yang aneh, unik, cinta lokasi yang sangat singkat, dengan komunikasi terbatas oleh bahasa ini terwujud dalam waktu 2 minggu. Waktu itu mereka sedang menjalani tour ke Amerika Selatan bersama Ballet Russe -grup tari yang membawa Nijinsky pada ketenaran.

Karir Nijinsky setelah itu hancur akibat kecemburuan manajernya, Sergei Diaghileff. Walaupun Romola selalu berusaha memulihkannya, bukan hanya karir Nijinsky yang turun, tapi juga kesehatan mentalnya. Kehidupan mereka berdua berlanjut dengan usaha Romola mencari berbagai ahli kejiwaan dalam usaha menyembuhkan suaminya, dan perjalanan mengungsi ke berbagai kota di Eropa ketika perang dunia satu sampai perang dunia dua berlangsung. Untuk melestarikan legenda Nijinsky, Romola menulis biografi “Nijinsky” dan setelah Nijinsky meninggal ia melanjutkan kisahnya dalam “Last Years of Nijinsky”.

Romola menjadi seorang penulis kritik dan sejarah balet. Setelah Nijinsky meninggal, ia tinggal di Amerika, demikian dua anak perempuannya, Kyra dan Tamara. Tahun 1978 Romola Nijinsky meninggal dunia. Pada tahun (1998) Kyra, meninggal dunia, dan Tamara beserta putrinya, Kinga, kini menjadi pewaris legenda Nijinsky.


...............
Romola de Bardi adalah putri seorang scholar di Florence pada masa renaissance, dalam novel karya George Elliot “Romola”. Ia dibesarkan di tengah perpustakaan, membantu ayahnya yang renta dan buta menuliskan berbagai pemikirannya. Datanglah seorang yunani muda yang terdampar, Tito Melema. Tito yang tampan dan mengaku mendapat pendidikan dari ayahnya yang scholar juga, menarik hati Romola dan ayahnya, Bardo de Bardi. Kehadiran Tito akan melengkapi hidup mereka dan membantu mereka dalam analisa dan rumusan pemikiran Bardo. Namun, kenyataan sangat jauh dari itu. Bardo meninggal dalam kekecewaan. Romola merasa bersalah. Tito ternyata hanya seorang ambisius bermuka banyak, yang mengambil keuntungan dari setiap kondisi.
.......................

Romola yang berada dalam kancah pertarungan politik memiliki perannya sendiri. Sosok Romola muncul sebagai “Madonna” yang banyak membantu masyarakat lemah, mungkin kasih sayang untuk anak yang tak pernah didapatnya dicurahkan kepada orang-orang yang kesusahan. Dalam kekacauan kota Florence, Romola mengetahui bahwa suaminya telah mengabaikan ayah angkatnya ketika menjadi tawanan perang. Ayah angkat Tito kemudian bermaksud balas dendam. Tito juga ternyata telah berselingkuh dengan seorang remaja polos selama bertahun2 sampai memiliki dua orang anak.

Romola yang berjiwa besar menerima dan menyayangi “simpanan” suaminya beserta anak-anaknya, setelah kematian Tito. Wanita malang itu mengira ia telah dinikahi secara resmi oleh Tito, dan tidak tahu menahu mengenai siapa Romola sebenarnya. Selanjutnya mereka tinggal bersama membesarkan kedua anak Tito.


...................
Kesimpulan, kedua Romola ini kehidupannya sebenernya apesss, terutama dalam hal asmara.. haha..
Kesimpulan kedua: Cowo teh meni brengsek hehe...

Monday, August 07, 2006

Great Expectation, 1998

Based on the novel by Charles Dickens


The tree-lined avenue

Begins to fade from view

Drowning past regrets

……………

Saya menonton Great Expectation versi Alfonso Cuaron di bioskop LFM, sekitar tahun 1999. Saat itu mungkin saya masih belum bisa mendefinisikan selera sendiri. Masih belum berani menyatakan sebuah film itu bagus atau tidak, walaupun sudah memfavoritkan beberapa film bagus yang berkesan tak terlupakan . Tapi tapi somehow.. film ini entah kenapa begitu menyentuh.. ada kesan yang kuat, dan cukup untuk membuat ingin menontonnya lagi dan lagi!! Di TV, sewa VCD, sampe berburu DVD bajakannya yang sudah keburu hilang di pasaran kota kembang. Akhirnya ketemu VCD originalnya di Disc Tara. Walaupun udah sangat gak level nonton VCD, lumayan juga untuk koleksi minimal. Seberapa gak pentingnya pun film ini, saya suka..!!


I’m not gonna tell the story the way it happened, I’m gonna tell it the way I remember” (Pernyataan yang sesuai dengan konsep film Memento mengenai memori*).

Dan inilah memori seorang Finn Bell mengenai masa lalunya.


Seorang anak lelaki dengan kepolosannya menghadapi dunia, dihadapkan pada keanehan manusia dalam kehidupan. Diawali dari pertemuan dengan seorang buronan (Robert de Niro) yang kemudian tertangkap, dijadikan teman bermain seorang gadis kecil keponakan wanita aneh di rumah mewah yang kumuh tak terurus, kepolosan dan ketulusan Finn membawanya pada nasib baik sekaligus buruk. Miss Dinsmoore (Anne Bancroft) yang mendendam berpuluh tahun pada seorang pria yang meninggalkannya di altar pernikahan, menjadikan keponakannya, Estella, (Gwyneth Paltrow) sebagai alat untuk membalas pengalaman buruknya kepada kaum pria.

Sial bagi Finn, ia terjebak untuk terlibat permainan berbahaya itu semenjak ia jatuh cinta pada Estella. Namun tanpa disangka, jalan terbuka baginya untuk berusaha “menaikkan derajat” dari anak keluarga miskin menjadi seseorang yang pantas disandingkan dengan Estella. Sayangnya, alur nasib terus membulak-balik perasaan dan harapan Finn.


Adegan-adegan terbaik di film ini adalah kemunculan Estella. Gwyneth Paltrow sangat cocok tampil sebagai gadis glamour snobbish dan dingin. Ketika adegan-adegan beralih dari Estella ke kisah kemunculan kembali sang buronan, flow film sempat terasa menurun karena seolah terlepas dari alur sebelumnya. Padahal, semua masalah yang muncul itu saling berkaitan.


Entah seberapa hebat sebetulnya kisah cinta antara Finn dan Estella, tetapi romantisme yang gelap terbangun pada adegan-adegan film ini. Nuansa kesuraman membawa kita merasakan kepedihan Finn dan juga Miss Dinsmoore saat mereka bertemu terakhir kalinya. Keseluruhan kisah Great Expectation bukan sekedar kisah cinta, tapi juga mengenai ketulusan dan kasih sayang secara lebih universal, seperti yang digambarkan dalam hubungan Finn dan Joe, kakak iparnya. Dan seiring narasi Finn, kita pun diajak memahami tentang perkembangan jiwa dalam pemaknaan hidup seorang anak lelaki yang tumbuh menjadi dewasa.


Beberapa tokoh mengalami pergantian nama dari novel aslinya, dan alurnya pun banyak mengalami perubahan, terutama penyesuaian dengan jaman tanpa melepas esensi cerita.


Sebuah versi adaptasi novel yang memiliki identitas sendiri. Keglamouran versi 90an dan adegan klasik seperti holding hands on the seashore, looking at the sunset atau berlari di tengah hujan menjadi kombinasi yang cukup berkelas. Walaupun cenderung lebih explisit, ending versi Alfonso Cuaron membawa semangat a la Dickens pada ending novelnya, yang bisa membuat para pembaca/ penonton lega sekaligus bertanya-tanya.


Jadi, walaupun ada beberapa adegan “dangdut”, jangan anggap ini film kacangan ala Hollywood. Dan, yap... Gwyneth bekilau di bawah sinar matahari.


Wednesday, April 12, 2006

Mimpi Buruks


Mimpi buruk berturut-turut. Gara-gara baca komik Conan, Death Note, lalu Monster.
Setelah lamaaa sekali tidak membaca komik jepang, judul-judul ini pula yang saya baca.
Banyak yang bilang Conan mah tokoh-tokohnya imut-imut dan pembunuhannya juga ga begitu sadis dibanding Detektif Kindaichi. Ya untung saya tidak baca Kindaichi sendirian tengah malem. Conan saja dibaca dengan cara itu ternyata sudah cukup bikin horor dalam tidur. Komik yang dua lagi lebih parah, bobot berpikirnya lebih berat. Dan mimpinya pun lebih mencekamm.

Komik misteri semacam yang disebut2 tadi lebih mempengaruhi saya daripada komik horor, selain saya juga ga begitu suka baca komik horor. Mungkin karena ketegangan berpikir yang sangat mempengaruhi jiwa itu yang bikin kebawa-bawa tidur. Terutama Monster by Urasawa Naoki. HIGHLY RECOMMENDED!!! udah mah tegang, seram, bikin penasaran, juga sangat mengharukan Huaaaaaa

Friday, March 03, 2006

Tikus nonton American Idol


Bukan Mickey Mouse, bukan Jerry.
Tapi bener2 tikus. Melalui celah pintu yang terbuka sedikit, dia berdiri tenang, diam, melotot ke arah TV. Tikus besar, tua. Bulunya kusut, mulai jarang dan agak basah. Buntutnya seperti cacing besar pink kemerahan, dengan beberapa gradasi seperti bercak noda. Menyadari keberadaannya ketahuan, ia bergerak santai pindah tempat dan berdiam diri lagi di sudut ruangan. Lalu berjalan pelan ke luar rumah.

Dan saya menjerit jijik sekeras-kerasnya

Sunday, January 01, 2006

Another Night Another Day


Apa hebatnya Tahun Baru. It's just another night, another day.

Apa pentingnya Tahun Baru sampai orang memiliki alasan untuk berpesta semalam suntuk, Dugem, booking hotel, macet-macetan di jalan, totoetan terompet. Sampai sampai para ustadz pun ikutan bicara mengenai bagaimana menyikapi tahun ke depan, niat memperbaiki diri, dll. Kenapa mesti 1 Januari, padahal di dunia ini ada berbagai macam sistem kalender dan detik-detik pergantian hari tidak sama di setiap tempat? Jadi, apa yang dirayakan?


......
Terlalu banyak alasan berpesta. Alasan pertokoan mendekorasi tempatnya, alasan produsen membuat kemasan berhias simbol-simbol tak penting yang dibuat penting, alasan stasiun TV membuat "Acara spesial". Adakah yang perduli bahwa sebetulnya banyak simbol-simbol yang justru menjauhkan makna yang semestinya, sampai semua menjadi semakin tak bermakna.

......
Terlalu banyak alasan infotainment mewawancara para selebriti: "Apa makna Idul Fitri bagi anda?" "Makna natal?" "Makna Tahun Baru?" "Bagaimana anda merayakannya tahun ini?" Sampai-sampai hari proklamasi, bahkan musibah pun menjadi alasan untuk mereka berkomentar dan mengait-ngaitkan dirinya dengan kejadian.

Manusia butuh momen. Padahal toh momen itu hanya berlaku bagi sebagian orang. Saat mereka yang di sono berpesta, yang di sana berduka, dan yang di situ sedang dalam penderitaan perang. Karena itu, apa yang terlalu dibesar-besarkan?


.....
Hanya pergantian hari, dan hari apapun dapat bermakna untuk kita sendiri. Tak usah seluruh dunia yang merayakan, tak perlu hiasan.