Sunday, February 24, 2013

Adu hewan atau adu manusia?

Salah satu yang mengganggu saya dalam menonton film Hable con Ella (Talk to Her) adalah ditampilkannya pertunjukan corrida de toros/ toreo/ bullfighting. Dalam bahasa Indonesia, toreo diartikan sebagai “perkelahian manusia melawan banteng”. Singkatnya mungkin dikenal sebagai adu banteng atau pertunjukan matador. Matador sendiri artinya pembunuh/ orangnya, bintang utama dalam pertandingan itu. Toreo adalah pertarungan hidup-mati  antara banteng dan dan manusia. Lengkapnya lihat saja di wikipedia

Intinya, pertunjukan matador adalah suatu kegiatan brutal penyiksaan terhadap hewan yang ditonton untuk sekedar kesenangan manusia, dipraktekkan di Spanyol dan beberapa negara bekas jajahannya, dengan beberapa variasi.  Pertunjukan adu hewan sendiri ada di berbagai balahan dunia, dan sepertinya merupakan penyaluran naluri brutalisme manusia yang dipraktekkan sampai sekarang. Di Indonesia sendiri berbagai tipe adu hewan dilaksanakan mulai dari adu jangkrik, sabung ayam, adu domba, adu anjing dan lain2. Selain masalah penderitaan hewan yang di adu, kegiatan semacam ini kerap diiringi perjudian.  Kegiatan adu hewan bertentangan dengan agama, peri kemanusiaan, dan peri kehewanan dan mungkin peri perekonomian.

Di antara peradu-aduan hewan yang ada, pertunjukan matador secara sistem adalah yang paling tidak adil karena si Banteng melawan manusia dengan cara dikeroyok. Walaupun sang Matador merupakan bintang utama dan menjadi umpan buat si Banteng,  si Banteng sudah dilemahkan dengan ditusuk2 oleh beberapa orang banderillero .
Kalau dalam kondisi normal kemungkinan besar manusianya yang akan kalah. Tanpa peran banderillero, pertarungan satu manusia lawan satu banteng itu dianggap tidak seimbang dengan banteng yang lebih kuat. Ya kalau begitu, ngapain nantang2 bantengnya ya?  Dengan alasan itu, para manusia merasa berhak menerapkan “slow and painfull death” untuk si banteng demi gerakan-gerakan indah antara matador dan si banteng.

Walaupun sudah diprotes banyak kalangan dan di beberapa negara sudah dilarang, pemerintah Spanyol sendiri tetap menganggapnya sebagai budaya yang perlu dilestarikan bahkan mensubsidinya. Pertunjukan ini masih dianggap aset wisata yang digemari warganya sendiri, turis dan sponsor. Para matador hidup bagaikan selebriti, sebagaimana yang ditampilkan di film Hable con Ella.  

Selain Hable con Ella, film Amores Perros yang produksi Meksiko termasuk salah satu film yang mengekspos kekerasan dalam adu hewan, dalam hal ini anjing. Apa yang dimunculkan di kedua film tersebut merupakan cerminan dari kenyataan di negara asalnya. Bedanya, adu anjing di Amores Perros diperlihatkan sebagai kegiatan ilegal yang dilakukan preman-preman dalam rangka perjudian, sementara pertunjukan matador di Hable con Ella, merupakan hal yang diterima dengan wajar seperti penerimaan orang terhadap pertunjukan tari. Uniknya matador dalam film ini adalah seorang  wanita yang meneruskan cita-cita ayahnya, seorang Banderilleros yang ingin menjadi matador tapi gagal.  Di kenyataan memang ada beberapa matador wanita yang sukses. Tokoh Lidya di film ini sendiri diperlihatkan bahwa di balik keberaniannya (dan kekejaman) menghadapi banteng di arena, adalah seorang wanita biasa yang bisa jatuh cinta, patah hati, bahkan punya phobia tertentu.

Pertunjukan toreo memang merupakan bagian yang tidak bisa dipidahkan dari film ini. Bahwa para tokoh film merupakan orang2 yang menerima kegiatan brutal tersebut sebagai bagian hidup mereka, adalah hal yang perlu kita pahami mengenai karakter manusia.
Sebagai orang yang ngaku-ngaku penyanyang binatang (kecuali tikus, nyamuk, lalat, kecoa), saya sempat berpikir seharusnya memboikot film macam begini. Tapi sementara itu, ada berapa film yang memperlihatkan pembunuhan terhadap manusia dan saya merasa terhibur menontonnya? Bahkan kadang kita bersorak dan tertawa ketika korbannya itu adalah tokoh2 penjahat, dan si boga lakon melakukan adegan pembunuhan dengan lucu.

Dalam hal pembuatan film,  adegan manusia mati di film cukup dipercayai merupakan akting dan manipulasi, sementara adegan yang menggunakan hewan dikhawatirkan membahayakan/ menyakiti hewan tsb, walaupun bukan di adegan yang berbahaya. Maka itu di akhir film biasanya ada pernyataan semacam “No animals were harmed during filming”, samacam label halal dari lembaga American Humane Association (AHA).  Film Talk to Her lolos sensor AHA berdasarkan beberapa pertimbangan mengenai teknis pembuatan film dan lingkup hukum Toreo yang legal di Spanyol.

Film Hable con Ella sama sekali tidak mengkampanyekan perlindungan terhadap banteng, apalagi anti  pertunjukan adu banteng sebagaimana biasanya film-film yang  politically correct  produksi Hollywood atau film2 yang lebih "bermoral". Walau menonton dengan mengagumi pembuatan adegan matador yang begitu mengena sebagai komponen penting bagi keseluruhan cerita film, saya dengan sadar sama sekali tidak punya niat untuk menonton pembantaian Banteng itu di kenyataan. Kalau kapan-kapan saya bisa berkunjung ke spanyol, haram menonton matador.

Maka dengan ini, bisakah para manusia walaupun sanggup menonton film yang mengandung hal-hal tidak baik seperti kekejaman terhadap hewan dan manusia,  tidak menerapkannya dalam kehidupan nyata?
Membuat film tentang perang, tanpa harus menyelenggarakan perang betulan?
Hmm gimana noh Amerika Serikat dan Hollywood?



Friday, February 22, 2013

Bukan resensi Life of Pi.



Waktu menonton film Life of Pi, di tengah film terlintas di benak saya: Wow! sepertinya Ang Lee akan cocok kalau menyutradarai film adaptasi dari komik Sandman karya Neil Gaiman. Pendapat yang didasari alasan sederhana dan dangkal: (mungkin perlu spolier alert!!!???).................Begitu seekor ikan paus meloncat ke atas permukaan laut dengan gemerlap, gagah dan megah mendebarkan, saya langsung teringat monster laut di Sandman buku ke-8 : At World’s End..........

Melalui Life of Pi, Ang Lee berhasil memvisualisasikan adegan-adegan dengan suasana DREAMY secara luar biasa menakjubkan, dan percayalah, tidak butuh format 3D untuk menikmatinya. Gambar-gambar yang tadinya tidak terbayang bakal ada/ bakal kita lihat baik di dunia nyata maupun di film lain seolah menyihir penonton. Dari detik pertama frame pertama sampai detik terakhir frame terakhir, saya semakin yakin: Life of Pi istimewa karena Ang Lee, dan hanya Ang Lee yang bisa membuatnya demikian. Dan mungkin Cuma Ang Lee yang bisa memfilmkan Sandman.




Di antara kemegahan gambar dan unsur artistik film Life of Pi, yang paling membuktikan “kemasteran” Ang Lee menurut saya bukan sekedar efek –efek visual yang memesona tersebut, bukan sekedar keajaiban binatang-binatang laut dan ribuan meerkat di pulau ajaib yang bercahaya ajaib di malam hari, bukan teknologi CGI harimau yang begitu hidup, juga bukan akting Suraj Sharma yang sangat bagus walau merupakan pendatang baru tanpa latar belakang akting. Yang menurut saya paling hebat justru bagian adegan-adegan Pi dewasa dan si penulis novel, tentunya dalam keterkaitan sebagai bagian yang saling melengkapi dengan fase-fase lain di kehidupan Pi dalam film tsb.

Waktu mengintip trailernya yang menunjukkan Pi dewasa yang berbicara dengan si penulis novel, tampak sungguhlah tidak menarik, apalagi para pemerannya bukanlah aktor2 cakep yang saya favoritkan.  Kemunculan mereka adalah bagian yang saya antisipasi akan membosankan. Tapi ternyata walaupun hanya memperlihatkan dua orang ngobrol sambil menyiapkan makanan, jalan2 ke taman sambil ngobrol lagi, dan makan sambil ngobrol lagi, sama sekali tidak membuat saya ingin berpaling dari layar.

Di sini lah kekuatan khas Ang Lee, seperti yang terlihat dari film-filmnya yang lain. Semua gerak-gerik dan olah tubuh, dilengkapi ekspresi yang begitu presisi sampai gerakan alis, kerutan keningnya, dan tarikan bibir, cara mendongak sampai cara mengetuk jari para aktor mencerminkan apa yang dialami dan dipikirkan para tokoh, dan semuanya bisa terlihat natural. Apakah mereka sedang berkungfu, sedang ngobrol santey sambil makan, sedang berkonspirasi, sedang ngomong sama harimau sedang kencan atau sedang mancing, aktor-aktor di film Ang Lee bisa menunjukkan ekspresi untuk membuat penontonnya merasa terhubung dan memahami dengan apa sebetulnya yang dialami dan dirasakan para tokoh di balik aksi yang sedang mereka lakukan. Adegan Pi dewasa dan si penulis ini merupakan kunci yang menjelaskan poin hasil rangkuman dari filosofi yang ingin disampaikan cerita film ini.  Dan kedua aktornya menyampaikannya dengan mulus. Imran Khan yang memerankan Pi dewasa tampil sebagai sosok bijak yang tidak sok, tidak berlebihan, juga tidak terasa menggurui.

Kesuksesan film ini tidak berarti bisa membuat orang-orang yang tidak percaya Tuhan menjadi percaya, tidak membuat yang tadinya fanatik jadi liberal, tidak membuat yang tadinya benci kucing jadi suka kucing, tidak membuat yang tadinya sekuler jadi relijius. Tapi, film ini menyampaikan apa yang ingin disampaikannya. Simpel.

Kembali ke Sandman. Komik ini bercerita tentang tokoh Sandman alias Dream. Hanya Dream saja, gak pake God, karena bukan dewa. Kadang disebut Dream Lord, Lord of the Dreaming. Dream ini punya 6 saudara lain yaitu dua kakaknya Destiny dan Death, lalu adik-adiknya: Destruction, Desire dan kembarannya Despair, dan Delirium yang sebelumnya adalah Delight.
Lengkapnya, yang pernah baca pasti hafal dan yang belum baca, silahkan baca. Kurang lebih latar cerita berkisar antara alam mimpi, alam dunia dari berbagai jaman, neraka, dan luar angkasa. Sandman bukan cerita yang gampang difilmkan, mungkin karena ceritanya terlalu kompleks, terlalu berat. Setelah baca berkali-kali untuk memahami isinya, tetap saja untuk membahasnya di tulisan ini pun saya belum sanggup. Yang pasti, di cerita Sandman banyak makhluk2 aneh, suasana alam yang aneh, kejadian2 aneh, dan perasaan serta pemikiran yang aneh2. Antara horor dan gore, mistis dan romantis. Memvisualisasikan Sandman menjadi film tanpa bikin (saya) ngantuk akan sangat susah.

Maka saya yang sok teu ini berkhayal bagaimana kalau Ang Lee yang menyutradarainya. Kisah Sandman dengan latar alam mimpi dan  tokoh2nya membutuhkan berbagai tampilan artistik dan teknologi CGI yang canggih. Tapi, bukan sekedar itu yang membuat saya menghayalkan Ang Lee menyutradarainya. Untuk makhluk2 aneh dan CGI suasana ajaib, saya yakin banyak sutradara lain yang bisa. Tapi sesuatu sentuhan bagi sisi kemanusiaannya lah yang justru tidak akan mudah. Transformasi karakter tokoh-tokohnya, khususnya tokoh Dream memerlukan pengolahan yang dalam. Saya masih tidak bisa membayangkan hasilnya tapi berharap Ang Lee bisa memberi kejutan2 yang lejat. Tentu dimulai dari kepiawaian penulis naskahnya yang harus bisa mengambil bagian2 penting, mengekstraksi esensi dari Sandman menjadi tontonan yang simpel tapi bermakna.

Yang saya khayalkan, kalau ada filmnya, bisa hanya kira2 satu segmen saja dari perjalanan Dream. Atau mungkin tidak perlu membuat bagian cerita dengan Dream menjadi tokoh utama. Satu hal yang unik dan spesial dari kisah-kisah Sandman ini adalah variasi cerita yang tidak akan pernah habis. Kalau Neil Gaiman masih meneruskan menulisnya, bisa masih ada banyak sekali yang bisa diceritakan lagi. Sebagaimana komiknya, ada plot utama berisi cerita Dream dan saudara-saudaranya, dan berbagai macam cerita-cerita pendek dengan tokoh utamanya bisa manusia, dewa-dewa, hewan maupun jin di berbagai masa di berbagai planet, dan  berbagai kepercayaan, maka untuk cerita filmnya pun bisa kaya sekali kemungkinan dan potensi bahannya.

Selanjutnya yang sangat penting, adalah pemilihan pemeran. Pada detik itu juga yang terlintas adalah : Chang Chen sebagai Dream. Lagi-lagi dengan alasan yang sangat dangkal karena baru terpesona melihatnya di   iklan minuman haram Chivas Regal yang disutradari Wong Kar Wai . Tapi, selain karena itu, kenapa Chang Chen?

Saya awalnya ( dan mungkin banyak orang?) membayangkan film Sandman dengan Johnny Depp sebagai Morpheus, sutradaranya mungkin Tim Burton. Referensi paling cocok adalah waktu dia jadi Edward Scissorhand,  Setidaknya rambutnya cocok. Tapi sayangnya belakangan ini Johnny Depp jadi terlalu lekat dengan Jack Sparrow dan karakter2 yang komikal. Dream memang tokoh komik, tapi dia sama sekali tidak komikal. Sementara filmnya Burton yang saya tonton terakhir ini adalah Dark shadow yang lucu awalnya tapi selanjutnya jadi menyebalkan.

Di buku-bukunya, Dream muncul dalam berbagai sosok, sesuai makhluk yang melihatnya.Saat berhadapan dengan kucing, dia berbentuk kucing, saat muncul di mimpi orang afrika, dia berkulit hitam, dan sebagainya. 
Komik Sandman digambar oleh banyak ilustrator sehingga penggambaran sosok Dream pun berbeda-beda tapi tidak menghilangkan karakter defaultnya: "Tall, thin and pale, black hair, and his eyes were stars in deep pool of dark water".
Secara fisik, Chang Chen cocoknya sebagai Dream dalam buku Sandman The Dream Hunter, saat Dream muncul dengan latar cerita Jepang.

      
Dream-japanese



Dream-default


Tapi, apapun variasi yang mungkin dijadikan film nantinya, kekuatan make-up artist akan punya peran sangat penting , sementara wajah asli aktornya  tidak penting selama punya kemampuan memancarkan wibawa dari sesuatu eksistensi yang telah berumur (sejak sebelum alam semesta terbentuk?) .

Chang Chen termasuk di antara aktor-aktor terbaik kelas atas Asia yang menjadi langganan sutradara-sutradara kelas atas. Karir Chang Chen melingkupi perfilman Taiwan, RRC, HongKong, Korea. Performa Chang Chen di setiap filmnya yang pernah saya tonton selalu bagus (Tercatat: Crouching Tiger Hidden Dragon, Happy Together, Chinese Oddissey 2002, 2046, Eros, Parking, Red Cliff I, red CLiff II ). Kemampuan akting tanpa banyak kata merupakan salah satu ciri khas untuk menandai kehebatan aktor Asia, dan Chang Chen adalah salah satu yang bisa tampil dengan sangat baik. Peran serius maupun komedi, brewok maupun klimis, cepak maupun gondring, galak maupun galau, Chang Chen selalu tampil dengan akting prima dan selalu ganteng.

Komentar pertama si Bambumuda tentang khayalan ini adalah Chang Chen tidak cocok karena dia itu terlalu “terang”, sementara Dream adalah tokoh yang gelap dan suram. Saya sepakat bahwa Chang Chen secara alaminya terang berkilau bahkan glow in the dark. Tapi dia pasti punya kemampuan meredupkan kilauannya itu untuk peran yang membutuhkan demikian.

Prikitiewwww…




Tuesday, February 12, 2013

Bulan Film Gael García

Melaksanakan “bulan film Gael García ”   tidak kalah menariknya dibanding dengan
“Bulan Film Takeshi Kaneshiro”.  Ketika ketertarikan pada seorang aktor menimbulkan obsesi untuk mencari film-film yang dibintanginya dan menghasilkan suatu sesi hiburan yang menyenangkan, rasanya waktu yang dihabiskan tidaklah sia-sia. Semoga para aktor dan pembuat filmnya mendapatkan rejeki yang cukup walaupun saya mendapat film2 mereka dari produk b*jakan.

Bisa dikatakan saya tertarik melakukan “Bulan Film Gael García”  awalnya karena beberapa bulan yang lalu melihat poster film A little Bit of Heaven. Karakter wajahnya berdampingan dengan Kate Hudson memberikan nuansa yang berbeda untuk suatu film Rom Com Hollywood. Tapi kata Rani filmnya jelek dan setelah melihat trailer serta membaca beberapa review yang terlalu negatif memang menunjukkan betapa tidak pentingnya film tsb.  Terlintas rasa simpati. Gael García Bernal (GGB) termasuk aktor langganan filmmaker Meksiko dan Spanyol kelas atas, tapi di Hollywood koq dipasang di film tidak jelas begitu. Beberapa waktu kemudian, di akhir tahun kemarin, saya tanpa sengaja menemukan link ke artikel yang mengulas singkat film "The Loneliest Planet" yang tampak unik dan menarik. Dimulai dari film tersebut, saya terhubung ke berbagai judul lain. Dan sejauh ini sudah menambah 6 judul baru dari sebelumnya baru 3 judul film yang sudah ditonton beberapa tahun lalu (tidak termasuk The Bourne Ultimatum,  walaupun sudah menonton, saya sangat tidak ingat apa perannya di sana). Jumlah ini memang belum signifikan dibanding sekitar 29 judul film panjang non TV, tapi sejauh ini Kinemala sudah bisa membuat beberapa analisa karena di film2 tersebut GGB berperan sebagai peran utama.

Hasil yang saya simpulkan sejauh ini, Agak berbeda dengan hasil dari "Bulan Film Takeshi Kaneshiro". Acara menonton film-film GGB ternyata mengarah ke film-filmnya, bukan mengenai si aktor Gael García Bernal atau karakter-karakter yg dia perankan. Maksudnya, GGB banyak berperan di film-film bagus, namun film-film tersebut  tidak menampilkan dia sebagai tokoh yang spektakuler/ menonjol walaupun sebagai pemeran utama. Tidak membuat penonton  (setidaknya saya) tergila-gila dan merasa gemeesss deeeh terhadap karakternya seperti terhadap Takeshi Kaneshiro. Hal ini bukan didasari subjektifitas akan kegantengan, karena saya menganggap GGB  juga memiliki wajah yang ganteng dan sangat khas dan enak dipandang, apalagi kalau senyum (kalau tidak, gak bakal saya jadikan topik film KineMala), tapi berdasarkan tipe film dan tipe peran yang biasanya dia mainkan.

GGB lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga berlatar belakang teater. Dari kecil/ ABG dia sudah berperan di telenovela, dan berlanjut ke film-film layar lebar. Kuliahnya pun di jurusan drama. Maka karir GGB memang berawal dari seni peran, sebagai aktor, bukan sebagai idola. GGB adalah aktor yang cukup produktif, tercatat sejak tahun 2000, setiap tahun dia muncul di lebih dari satu film.

Sejauh ini ada benang merah dari karakter-karakter GGB khususnya di film-film Meksiko/ film berbahasa Spanyol yang sudah saya tonton. Trademarknya GGB adalah sebagai karakter pemuda berandal, bukan karakter untuk diteladani apalagi diidolakan, bahkan belum tentu pantas mendapat simpati. Mayoritas peran GGB adalah  jadi pemuda labil, baik pemuda labil trouble maker atau pemuda labil kekanakan atau pemuda labil kampungan, atau sekedar pemuda yang nasibnya kurang beruntung.  Film-filmnya yang termasuk produksi Amerika Latin banyak menampilkan tema realitas sosial dan kesenjangan ekonomi masarakat. Seperti yang sering kita lihat tergambar di telenovela lah, tapi dari sisi yang lebih nyata, tanpa fairy tale.

Sayangnya, karakter yang diperankan GGB walaupun tidak pernah tampil buruk, tapi juga tidak pernah tampil outstanding. Kadang malah partner/ pemeran pendukungnya tampil lebih menonjol. Contohnya, di Amores Perros dan Babel, yang merupakan jenis film dengan beberapa alur cerita paralel, tokoh utamanya ada banyak, dan GGB hanya sebagai salah satunya.

Di film Rudo Y Cursi, Diego Luna lawan mainnya, tampil lebih berkarakter padahal dari peran2nya yang lain yang sudah saya tonton: Di Y Tu Mama Tambien,  saya bahkan tidak ingat wajahnya, artinya tidak ada yang spektakuler dari karakternya. di Dirty Dancing 2, Diego tampil sebagai cowok manis imut baik hati, aktingnya tampak cempreng dan garing. Ternyata sebagai Rudo dia sangat berbeda, karakternya kuat, komikal, terlihat dewasa dan matang, menyebalkan sekaligus juga menggugah simpati walaupun banyak melakukan ketololan. Sedangkan Gael sebagai Cursi, walaupun karakternya juga menarik dan komikal, tapi rasanya masih ada saja aura bawaan dari film-film lainnya.  Apa mungkin karena pengaruh model rambut GGB yang sepertinya tidak banyak berubah di berbagai filmnya; sebagai reman maupun pendeta, wajahnya begitu-begitu saja, sementara di sini Diego berkumis? Walau perlu analisa lebih jauh mengenai Diego Luna sebagai perbandingan, bisa dianggap mungkin di Dirty Dancing 2 memang perannya cuma begitu saja sesuai filmnya yang garing, sementara dia aktor berbakat, maka di film Rudo y Cursi, Diego  tampil dengan karakter lebih kuat daripada Gael.

Satu film lagi yang cukup signifikan dalam karir GGB adalah The Motorcycle Diaries, tapi sejauh ini saya belum berminat menontonnya, hanya pernah lihat sekilas tanpa menyimak. Tapi dari salah satu review yang pernah saya baca, disebutkan bahwa teman mainnya, Rodrigo de la Serna tampil lebih kuat karakternya. Mungkin belakangan akan saya buktikan.

Referensi sejauh ini berdasarkan pada hasil hunting yang masih tergantung aksesibilitas dan bandwidth internet. Bukan tidak mungkin akan ada nuansa lain yang merevisi opini di tulisan ini kalau judul film yang ditonton bertambah. Yang pasti, kegiatan Bulan Film Gael García kali ini adalah refreshing dari mainstreamnya KineMala.

Berikut beberapa judul yang saya tonton. Untuk nomer 1, 2 dan 6, terakhir kali menontonnya sudah bertahun-tahun yang lalu, jadi sebagian agak lupa maka sinopsisnya di sini rada nyontek. Sementara yang 6 lagi saya tonton sejak akhir Des sampai akhir Januari kemarin.


1. Amores Peros (by Alejandro González Iñárritu, 2000)
Film ini memiliki tiga plot cerita paralel, dengan tokoh-tokoh utama dari masing-masing cerita yang tidak saling mengenal tapi jalan hidupnya beririsan dalam suatu kecelakaan tabrakan mobil. Sebagaimana judulnya yang bisa diartikan sebagai "Cinta itu Anjing", cinta dan anjing merupakan tema film ini, dan bagaimana manusia-manusia menjalani hidup bersama cinta dan anjing-anjing mereka. Suatu judul dan tema yang sangat unik dan buat saya cukup membuka wawasan tentang kehidupan. GGB berperan menjadi anak muda dari keluarga miskin di (Mexico City?) yang ngecengin istri abangnya. Dia mengikutkan anjing abangnya dalam kompetisi adu anjing untuk mendapatkan uang dan berharap akan minggat dengan istri abangnya itu. Di film ini karakter yang diperankan GGB seolah menjadi trademarknya. Pemuda berandal dari keluarga miskin, mungkun perlu mendapat simpati, tapi kelakuannya payah juga. Seperti yang disebutkan di atas, banyaknya tokoh utama lain tidak membuat perannya GGB menonjol. Yang lebih kuat kemunculannya menyisakan jejak mendalam di otak dan hati adalah tokoh El Chivo.


2. Y Tu Mama Tambien (by Alfonso Cuarón, 2001)
Gael Garcia dan Diego Luna berperan menjadi dua sahabat pemuda labil yang sedang labil karena ditinggal pacar-pacar mereka, melakukan road trip dengan seorang wanita yang usianya lebih tua dari mereka dan baru mereka kenal, dan sedang labil juga karena suaminya selingkuh. Gael dan Diego tampak natural dalam perannya karena sesuai dengan persahabat mereka di luar film dan tampangnya juga cocok jadi pemuda2 bandel. Di antara film2nya GGB, film ini mungkin yang paling banyak perlu disensor, baik dialog maupun adegannya banyak yang vulgar. Tapi dari segi script yang masuk nominasi OSCAR, film ini berhasil dengan baik menampilkan gaya hidup dan situasi politik dan sosial Meksiko saat itu, dengan berbagai kejadian yang divisualisaikan maupun dinarasikan, dan mengalir seiring petualangan tokoh-tokohnya.


3. El Crimen del Padre Amaro. (by Carlos Carrera, 2002)
Film yang kontroversial di negara asalnya, Meksiko, karena menceritakan skandal-skandal pendeta katolik di suatu kota kecil miskin. Aslinya diangkat dari novel tahun 1875 karya penulis asal portugal. GGB berperan sebagai Padre Amaro, pendeta muda dengan prospek karir dan pendidikan yang cerah setelah harus mengabdi di suatu kota terpencil. Sayangnya Padre Amaro terjebak dalam dosa karena  jadi selingkuhan pemudi labil aktifis gereja. Permasalahan yang muncul bukan hanya mengenai Padre Amaro, tapi juga pendeta2 lain di kota itu, dengan gambaran kondisi sosial dan ekonomi kota pinggiran Meksiko.

GGB sebagai tokoh yang menjadi judul film tsb sayangnya tidak tampil kuat. Karakternya tidak jelas berdiri di mana, kalaupun maksudnya misterius, tidak cocok juga rasanya. Apakah dia itu sebetulnya ada di antara baik dan nyebelin, apakah dia itu awalnya polos, atau ternyata sudah biasa ngalaba, apakah dia bimbang, tidak terlihat bedanya di ekspresi GGB. Karakter yang menarik di film memang yang “abu-abu” atau misterius, tokoh baik yang menyebalkan, atau tokoh jahat yang menimpulkan simpati. Padre Amaro ini sebetulnya jelas posisinya di mana, jelas2 dia pendeta, jelas-jelas dia bersalah. Tapi ekspresi GGB kebanyakan tampak blank, belum bisa memperlihatkan kedalaman karakternya dibalik yang sudah terpaparkan, atau membuat Padre Amaro menjadi lebih menarik, walaupun tidak perlu juga diberi simpati.


4. Dot The I (2003)
Film ini kalau di Rotten Tomatoes peringkat terjelek kedua setelah A little bit of heaven. Untuk perbandingan, perlu juga melihat film yang dikritik jelek. Di imdb ratingnya 6.7 dan ada juga yang mereview positif. Saya agak penasaran dengan yang disebut2 sebagai plot twist.

Mungkin maksudnya film ini bercerita tentang permainan perasaan manusia yang terlihat dalam perselingkuhan dan permainan kehidupan, atau sekedar film misteri tapi nanggung, dengan plot twistnya antara bisa ditebak dan tidak, sok-sok misterius.
Tokoh2nya gak ada yang perlu mendapat simpati, apalagi si tokoh ceweknya. GGB tampil biasa. Senyumnya sih tetap manis. Tapi ya semua itu gak penting.


5. La Mala Educacion (by Pedro Almodovar, 2004)
Gael jadi banciiiiiii!!!! nuff said.............gak ding,
Film ini sangat berani menceritakan keburukan pendidikan di sekolah katolik dengan pendeta yang brengsek dan akibatnya sampai siswanya dewasa. Plot film ini cukup unik . Walaupun agak bikin frustasi, film ini mengalir dengan mudah diikuti. Twist cerita terungkap secara bertahap dengan teknik penceritaan plot maju-mundur dan film di dalam film.
GGB berakting cukup ekstrim di sini. Karakternya berubah-ubah. Tapi yang lebih menarik justru karakter Enrique yang diperankan Fele Martinez. Memang GGB mengeluarkan segala aksi di sini, dan bisa dikatakan ini filmnya yang paling mengeksplor kemampuan aktingnya. Tapi justru Fele yang banyak diam dan berbicara dengan matanya penampilannya lebih kuat.

Hanya direkomendasikan untuk yang siap dengan film "ekstrim" dan kuat mental. *(lebih parah daripada Brokeback Mountain)


6. Babel (by Alejandro González Iñárritu, 2006)
Karakter filmnya mirip dengan Amores Perros, dengan kisah kehidupan berbagai tokohnya yang  tidak saling mengenal tapi saling bersinggungan. Seolah perkembangan dari Amores Perros, Babel skalanya lebih mendunia. Efek dari satu kejadian  mempengaruhi kehidupan berbagai tokohnya di berbagai belahan dunia.
GGB berperan sebagai Santiago, pemuda Meksiko yang mengantar bibinya, seorang baby sitter di amerika yang memaksakan diri mendatangi pernikahan anaknya walaupun orang tua anak yang diasuhnya terhalang untuk pulang akibat tertembak di dalam bis pada perjalanan di Maroko.
Kehebohan yang terjadi selanjutnya didasari keparnoan dan kerasisan orang Amrik akan serangan teroris dan ancaman kriminalitas yang diiringi tindakan lebay setelah itu. Saya lupa bagaimana penokohan yang diperankan GGB di sini. Kalau tidak salah, cukup mengasihankan..? Tapi ternyata rada payah juga karena pemabuk. (serius ternyata saya bener2 lupa.. cuman inget dia ada. Perlu tonton ulang)


7. The Science of Sleep (by Michael Gondry, 2006)
GGB berperan sebagai pemuda yang kekanakan, ngecengin seorang wanita tetangga apartemennya, dan sedang tidak puas dengan pekerjaan barunya. Hidupnya bercampur baur bersaling silang antara mimpi dan kenyataan, sebagaimana penonton yang terbingung-bingung mana adegan yang mimpi mana yang kenyataan. Dan saya pun tertidur… Sebetulnya film ini lucu, dan komikal. Banyak variasi gambar dan animasi yang dinamis. Tapi, mengikutinya jadi membuat ngantuk. Saya menikmati per bagian-bagiannya tapi juga tidak terlalu perduli mau dibawa ke mana dan nantinya bagimana, Seperti: “ya su lah mimpi terus saja kamu…zzzzz....” dan sepertinya film ini juga tidak memaksakan suatu konklusi yang nyata. Enjoy saja keabsurdannya, dan GGB masih seperti biasa, plus rada kekanakan, cukup menggemaskan sih.


8. Rudo Y Cursi (by Carlos Cuarón, 2008)
Salah satu genre hollywood yang paling membosankan adalah film olahraga.
Tapi, di tangan geng filmmaker Meksiko, tema ini  bisa menjadi sangat menarik dan unik sekaligus juga menyentuh. Selain tentang sepak bola, Rudo Y Cursi mengangkat tema keluarga khususnya yang terwujud dalam hubungan antara kakak adik Beto “Rudo” dan Tatto “Cursi”.

Seperti yang sudah disebut di atas, GGB bermain lagi bersama sahabatnya Diego Luna, sebagai adik kakak. Walau wajah mereka sangat sama sekali sungguhlah tidak ada mirip-miripnya acan, namun di film ini menjadi logis karena mereka lain ayah. Bahkan, di film ini, adik-adiknya yang lain juga lahir dari ayah-ayah yang berbeda. Mereka sekeluarga tinggal bersama ibunya yang mereka sanjung dan sayangi. Beto yang sudah berkeluarga sepertinya sudah berumah sendiri tapi masih berdekatan. Rumah mereka tergolong rumah gubuk, maka salah satu cita-cita mereka adalah mendirikan rumah untuk Ibu mereka. Anak-anak yang manis ya.

Tatto dan Beto bekerja sebagai buruh perkebunan pisang di daerah terpencil Meksiko, sampai seorang pencari bakat menemukan mereka dan mengajak bergabung dengan klub sepak bola di ibu kota.
Selanjutnya perjalanan karir dan kehidupan keluarga, hubungan persaudaraan mereka disajikan dengan kocak, tapi juga natural dan wajar dengan segala dinamikanya.

Bisa dikatakan ini filmnya GGB yang paling menyenangkan buat saya, karena nuansanya jauh berbeda dari film-film lainnya yang cenderung suram. Karakternya sebagai pemuda norak tapi polos, bisa lebih melekat dibanding yang serius-serius, tapi yang paling menyenangkan adalah chemistry antara Rudo dan Cursi sebagai saudara sekaligus juga saingan. Film Rudo Y Cursi, walaupun tanpa hollywood ending, juga tanpa menyuapi idealisme, meninggalkan jejak ceria walaupun sebetulnya tragis juga. "Pesan moral" yang terkandung cukup bisa dinikmati tak perlu diverbalisasi.


9. Even The Rain / Tambien la Iluvia (by Icíar Bollaín, 2010)
Menggambarkan penindasan oleh pendatang kulit putih terhadap penduduk Indian di amerika latin dengan plot film di dalam film.  Penonton disuguhi suasana sejak jaman Colombus baru tiba  dan penindasan di jaman modern lewat privatisasi air. GGB berperan sebagai sutradara yang sedang membuat film tentang kedatangan Colombus di benua Amerika. Bersama krunya mereka melakukan syuting di kota terpencil di Bolivia, dan mengcasting banyak warga asli indian setempat sebagai figuran. Sayangnya mereka berada di saat yang salah sehingga terjebak dalam demonstrasi menentang berdirinya perusahaan air swasta di daerah tersebut.

Akting GGB seperti biasa, lagi-lagi karakternya tergeser oleh karakter lainnya, salah satunya adalah tokoh Daniel, warga indian yang pemerannya baru main film pertama kali. Karakter Daniel justru menarik karena aktingnya jadi sangat natural, bisa menyentuh dan menumbuhkan simpati, sementara tokoh penentu di klimax film adalah karakter Costa, produser film yang disutradarai tokoh GGB di film ini.


10. The Loneliest Planet (by Julia Loktev, 2011)
Bukan film untuk banyak orang. Alurnya sangat lambat, super lambat. Tentang sepasang kekasih  yang bertualang ke daerah pegunungan Kaukasus di wilayah negara Georgia dengan seroang pemandu warga lokal kampung sekitar.
Dialognya sedikit, dan settingnya menampilkan banyak pemandangan alam yang indah, tapi terlalu banyak frame yang statis. Mungkin dengan resolusi yang lebih bagus latar belakang keindahan alam terlihat lebih menyegarkan, tapi tetap saja ketika semuanya berjalan terlalu lambat ya bosen juga. Tambah lagi tidak ada subtitle (sudah digugel). Tapi subtitle sepertinya tidak terlalu perlu juga dengan dialog yg sangat sedikit itu: sebagian berbahasa inggris sebagian berbahasa Georgia. Yang bahasa Georgia kita tidak perlu mengerti karena si pasangan dalam film juga tidak mengerti. Dialog yg bahasa inggris, harus kita usahakan saja mendengarkan dan mengerti. Sepertinya ada juga bahasa Spanyol sedikit karena mungkin Karakter GGB berasal dari negeri berbahasa spanyol, si ceweknya berbahasa Inggris (memang bener-bener kurang jelas nih). Tapi sementara ini dengan dialog yang hanya sedikit yang bisa tertangkap itu, saya bisa menikmati film ini dari ekspresi2 para aktornya.

Saya mungkin tidak akan berjuang menontonnya sampai selesai kalau belum mendapat highlight bahwa “you blink, you’ll miss it”. Si pasangan yang awalnya happy-happy ini setelah sepersekian film moodnya berubah drastis. Hubungan mereka terguncang dan patut dipertanyakan. Apa yang terjadi sebaiknya jangan diintip di wikipedia maupun di komen2 yutub, dan hati-hati dengan artikel spoiler (kalau berminat menonton film ini). Tanpa banyak dialog, penonton dibawa ikut memikirikan apa yg dipikirkan mereka. Kenapa bisa begitu? Segitunya? Lalu gimana selanjutnya?

Ekspresi GGB dan pemeran wanitanya sangat menarik. Bagaimana mereka berubah, apa yang kira2 dipikirkan, tergambar di semua gerak tubuh dan tarikan wajah. Mungkin bisa dikatakan ini adalah eksplorais akting GGB yang terbaik karena minimnya dialog tsb.

Film The Loneliest Planet adalah salah satu film yang meninggalkan jejak mendalam, walau untuk menyelesaikannya, saya pause berkali2 sambil facebookan dan berkegiatan lain karena bosan. Yang penting, jangan sampai terlewatkan satu adeganpun. Dan hasilnya, menonton film ini mengobati kebetean habis nonton 5 cm, seriusss!!!



Beberapa poin dari kesimpulan:

  • Sejauh ini dari yang saya tonton, penampilan GGB yang paling saya suka adalah di The Loneliest Planet dan   Rudo y Cursi.
  • Film yang paling saya suka: Amores Perros, The Loneliest Planet, Rudo y Cursi, Tambien la Iluvia
  • Film yang direkomendasikan buat mayarakat :  Amores Perros, Babel, Tambien La Iluvia, Rudo Y Cursi
  • Film yang saya ingin miliki versi produk originalnya: Amores Perros (setelah kecewa sama vcd release  Indonesia yang sensornya berlebihan menghilangkan esensi film), The Loneliest Planet, Rudo Y Cursi. Semoga ada rezeki dan jodohnya