Wednesday, March 27, 2013

Talk to her, or Listen

Hable con Ella.

Director : Pedro Almodóvar
Writer   : Pedro Almodóvar
Stars     : Rosario Flores, Javier Cámara, Darío Grandinetti, Leonor Watling

Saya terhubung ke film Hable con Ella karena sedang berburu film-filmnya Gael Garcia . Salah satu yang ratingnya cukup tinggi di beberapa site adalah film La Mala Educación karya Pedro Almodovar, sutradara Spanyol. Karena belum berhasil mendapatkan film yang dituju, saya mendahulukan  filmnya Almodovar yang lain walau tanpa Gael, yang mendapat rating tinggi dan banyak resensi positif: Hable con Ella.



Hable con Ella yang artinya “Talk to her” terdengar sepeti film drama romantis, ketika dua orang pria berkenalan di sebuah rumah sakit dan jadi sahabat karena saling berbagi cerita untuk kasus yang sama: Wanita yang mereka cintai sedang dalam keadaan koma.  Bayangkan betapa romantisnya berbicara pada kekasih hati yang terbaring tidur panjang, dengan jiwanya entah berada di alam mana, entah mendengar atau tidak, entah menangkap kata2 kita di alam mimpi, atau mungkin justru rohnya sedang melayang-layang di ruangan tersebut mendengar, tapi juga melihat orang2 yang berbicara? Wallahu a'lam.

Dua pasangan dalam  film ini adalah Benigno, perawat di rumah sakit tempat para pasien koma tersebut dirawat dengan Alicia seorang penari, dan Marco seorang penulis dengan Lidya seorang matador (ya, matador!).  Latar belakang masing-masing tokoh dan perkembangan hubungan kedua pasangan terungkap secara bertahap dengan permainan plot maju-muncur.

Hable con Ella adalah film yang padat, padat dengan informasi.  Profesi para tokoh ditampilkan dengan jelas, baik dengan visualisasi aktifitas meraka, maupun dengan dialog langsung maupun tidak langsung. Para tokoh pendukung seperti tim perawat, guru tari, dan keluarga para tokoh utama tidak sekedar muncul atau lewat saja, tapi memiliki sekilas latar belakang atau eksistensi tertentu yang melengkapi dan memperkaya cerita.

Latar belakang budaya dan sosial dimunculkan dengan cara yang menarik, seperti bagaimana pertunjukan bullfighting khas Spanyol dan sekilas kehidupan Matador di negara itu serta budaya infotainment. Untuk masalah sosial ada seorang perawat yang  sedang bermasalah dengan rumah tangganya dan cerita tentang mantannya Marco yang bermasalah dengan drugs. Hal-hal ini hanya diucapkan sekilas melalui satu dua kalimat, tapi berpengaruh pada cerita film dan cukup memberikan gambaran mengenai beberapa permasalahan sosial di lingkungan latar belakang film ini.

Ide mengenai romantisme tampil dengan bentuk yang berbeda-beda di sini. Ada yang wajar, ada yang janggal.  Hubungan Benigno dan Alicia yang berlangsung satu arah selama bertahun-tahun, perlu dipertanyakan. Benigno yang dengan sungguh-sungguh merawat Alicia dari memandikan, memijat, fisiotherapy sampai mendandani. Dia bahkan melakukan sendiri hal-hal yang disukai Alicia seperti menonton pertunjukan tari dan film klasik. Hubungan Marco dan Lidya masih tampak lebih normal, hanya saja Marco dari awal terlalu merasa memahami Lidya. Ketika Lidya koma, Marco sebetulnya tidak tahu harus bagaimana merawat dan berbicara dengan Lidya seperti yang dilakukan Benigno.

Benigno adalah tokoh yang paling kompleks di film ini. Di balik  pembawaan  yang ramah,  rajin tulus, dan tampak tenang. Latar belakang keluarga dan kondisi kesehariannya merupakan potensi masalah.  Apa yang Benigno pikirkan di balik semua itu mungkin membuat penonton bertanya-tanya atau menebak-nebak. Bahkan Marco pun yang dianggap satu-satunya sahabat Benigno tidak bisa cukup memahami.  Perkembangan cerita menjadi mengkhawatirkan, termasuk juga perkembangan persahabatan Marco dan Benigno. Apa yang terjadi selanjutnya mungkin sebagian bisa tertebak, namun dengan plot cerita yang terasa pelan tapi padat membuka lapis demi lapis kejadian dan perkembangan karakter sehingga keseluruhan cerita merupakan proses yang menarik, membuat penonton terbawa oleh alurnya yang kompleks namun mudah diikuti.

Akting para pemeran mulus menampilkan tiap karakter menjadi terlihat wajar, natural, dengan keunikan masing-masing. Bahkan Alicia yang mungkin paling sederhana karakaterisasinya dan tidak banyak melakukan aktifitas dan dialog, keberadaannya tetap berisi, tidak sekedar jadi wajah pemanis apalagi eksistensinya berpengaruh begitu besar terhadap para tokoh lain.

Tidak perlu teknik-teknik sinematografi yang  spektakuler untuk membuat film ini memikat. Dengan posisi kamera pada skala manusia, sudut pandang penonton mudah ditempatkan dan bisa lebih fokus ke cerita serta karakter.  Eksplorasi sutradara dalam visualisasi di beberapa adegan cukup aneh dan unik, seperti penggunaan pertunjukan ballet modern dan film bisu yang memiliki makna-makna sendiri sebagai bagian cerita. Penempatan musik dalam film ini, terutama pada beberapa adegan khusus, seperti adegan pentas tari dan adegan matador juga menjadi nuansa penting yang ikut berbicara dalam film ini.

Hable con Ella tidak memaksakan suatu idealisme, tidak memberi teladan atau motivasi bagi penonton. Bahkan mungkin para tokohnya tidak perlu kita beri simpati. Tapi, apapun yang mereka lakukan, kurang lebih bisa dimengerti walaupun bukan berarti untuk dimaklumi. Mungkin penonton bisa terkoneksi, mungkin juga tidak. Cerita film ini seolah memunculkan sesuatu yang apa adanya, bisa baik bisa buruk, sebagai konsekuensi dari nasib.
Ending film ini memberi pertanyaan sekaligus harapan. Menyelesaikan masalah sekaligus membuat masalah baru. Bahkan masalah yang akan timbul potensial untuk dijadikan satu film sendiri.

Hable con Ella adalah kombinasi film komersial dan film seni, objek diskusi yang lezat bagi para apresiator maupun pembelajar film. Penerimaan terhadap film ini bisa berbeda-beda: sangat suka atau tidak suka. Tapi tetap saja sebagai sebuah karya film, Hable con Ella adalah produk yang kumplit. Dan sebuah film bisa menjadi kumplit, tanpa harus menawarkan, apalagi memaksakan suatu "pesan moral".

Bagi saya, ritme film ini tidak terkoneksi dengan detak jantung dan irama sistem pencernaan saya  seperti banyak film HK tapi juga tidak sampai bikin mual seperti sebagian film hollywood, atau bikin migrain seperti kebanyakan film korea.  Film ini aneh. Tidak bikin sebal, juga tidak bikin saya jatuh cinta, tapi sama sekali tidak membuat saya ingin berhenti menontonnya. Bahkan ingin mengulangnya terus karena selalu terasa ada yang perlu saya lebih pahami. Khususnya, saya terhibur dengan penempatan musik. Dalam hal ini saya pikir Almodovar seperti Wong Kar Wai, apalagi mereka pernah menggunakan satu lagu yang sama di film masing2. Selera mereka dalam mengkombinasikan dan menempatkan musik, lagu dan lirik dengan adegan dan ekspresi aktor2nya menjadikan film-film mereka sebagai tontonan yang asik untuk diulang-ulang, khususnya di bagian-bagian tertentu seperti sekedar menikmati video klip   

No comments: