Hable con Ella.
Director : Pedro Almodóvar
Writer : Pedro Almodóvar
Stars : Rosario Flores, Javier Cámara, Darío Grandinetti, Leonor Watling
Saya terhubung ke film Hable con Ella karena sedang berburu film-filmnya Gael Garcia . Salah satu yang ratingnya cukup tinggi di beberapa site adalah film La Mala Educación karya
Pedro Almodovar, sutradara Spanyol. Karena belum berhasil mendapatkan
film yang dituju, saya mendahulukan filmnya Almodovar yang lain walau
tanpa Gael, yang mendapat rating tinggi dan banyak resensi positif:
Hable con Ella.
Hable con Ella yang artinya “Talk to her” terdengar sepeti film drama
romantis, ketika dua orang pria berkenalan di sebuah rumah sakit dan
jadi sahabat karena saling berbagi cerita untuk kasus yang sama: Wanita
yang mereka cintai sedang dalam keadaan koma. Bayangkan betapa
romantisnya berbicara pada kekasih hati yang terbaring tidur panjang,
dengan jiwanya entah berada di alam mana, entah mendengar atau tidak,
entah menangkap kata2 kita di alam mimpi, atau mungkin justru rohnya
sedang melayang-layang di ruangan tersebut mendengar, tapi juga melihat
orang2 yang berbicara? Wallahu a'lam.
Dua pasangan
dalam film ini adalah Benigno, perawat di rumah sakit tempat para
pasien koma tersebut dirawat dengan Alicia seorang penari, dan Marco
seorang penulis dengan Lidya seorang matador (ya, matador!). Latar
belakang masing-masing tokoh dan perkembangan hubungan kedua pasangan terungkap secara bertahap dengan permainan plot maju-muncur.
Hable
con Ella adalah film yang padat, padat dengan informasi. Profesi para
tokoh ditampilkan dengan jelas, baik dengan visualisasi aktifitas
meraka, maupun dengan dialog langsung maupun tidak langsung. Para tokoh
pendukung seperti tim perawat, guru tari, dan keluarga para tokoh utama
tidak sekedar muncul atau lewat saja, tapi memiliki sekilas latar
belakang atau eksistensi tertentu yang melengkapi dan memperkaya cerita.
Latar belakang budaya dan sosial dimunculkan dengan cara yang menarik, seperti bagaimana pertunjukan bullfighting
khas Spanyol dan sekilas kehidupan Matador di negara itu serta budaya
infotainment. Untuk masalah sosial ada seorang perawat yang sedang
bermasalah dengan rumah tangganya dan cerita tentang mantannya Marco yang bermasalah
dengan drugs. Hal-hal ini hanya diucapkan sekilas melalui satu
dua kalimat, tapi berpengaruh pada cerita film dan cukup memberikan
gambaran mengenai beberapa permasalahan sosial di lingkungan latar
belakang film ini.
Ide mengenai romantisme tampil
dengan bentuk yang berbeda-beda di sini. Ada yang wajar, ada yang
janggal. Hubungan Benigno dan Alicia yang berlangsung satu arah selama
bertahun-tahun, perlu dipertanyakan. Benigno yang dengan sungguh-sungguh
merawat Alicia dari memandikan, memijat, fisiotherapy sampai
mendandani. Dia bahkan melakukan sendiri hal-hal yang disukai Alicia
seperti menonton pertunjukan tari dan film klasik. Hubungan Marco dan
Lidya masih tampak lebih normal, hanya saja Marco dari awal terlalu
merasa memahami Lidya. Ketika Lidya koma, Marco sebetulnya tidak tahu harus bagaimana
merawat dan berbicara dengan Lidya seperti yang dilakukan Benigno.
Benigno
adalah tokoh yang paling kompleks di film ini. Di balik pembawaan
yang ramah, rajin tulus, dan tampak tenang. Latar belakang keluarga
dan kondisi kesehariannya merupakan potensi masalah. Apa yang Benigno
pikirkan di balik semua itu mungkin membuat penonton bertanya-tanya atau
menebak-nebak. Bahkan Marco pun yang dianggap satu-satunya sahabat
Benigno tidak bisa cukup memahami. Perkembangan cerita menjadi
mengkhawatirkan, termasuk juga perkembangan persahabatan Marco dan
Benigno. Apa yang terjadi selanjutnya mungkin sebagian bisa tertebak,
namun dengan plot cerita yang terasa pelan tapi padat membuka lapis demi
lapis kejadian dan perkembangan karakter sehingga keseluruhan cerita
merupakan proses yang menarik, membuat penonton terbawa oleh alurnya
yang kompleks namun mudah diikuti.
Akting para pemeran
mulus menampilkan tiap karakter menjadi terlihat wajar, natural, dengan
keunikan masing-masing. Bahkan Alicia yang mungkin paling sederhana
karakaterisasinya dan tidak banyak melakukan aktifitas dan dialog,
keberadaannya tetap berisi, tidak sekedar jadi wajah pemanis apalagi
eksistensinya berpengaruh begitu besar terhadap para tokoh lain.
Tidak
perlu teknik-teknik sinematografi yang spektakuler untuk membuat film
ini memikat. Dengan posisi kamera pada skala manusia, sudut
pandang penonton mudah ditempatkan dan bisa lebih fokus ke cerita serta
karakter. Eksplorasi sutradara dalam visualisasi di beberapa adegan
cukup aneh dan unik, seperti penggunaan pertunjukan ballet modern dan
film bisu yang memiliki makna-makna sendiri sebagai bagian cerita.
Penempatan musik dalam film ini, terutama pada beberapa adegan khusus,
seperti adegan pentas tari dan adegan matador juga menjadi nuansa
penting yang ikut berbicara dalam film ini.
Hable con
Ella tidak memaksakan suatu idealisme, tidak memberi teladan atau
motivasi bagi penonton. Bahkan mungkin para tokohnya tidak perlu kita
beri simpati. Tapi, apapun yang mereka lakukan, kurang lebih bisa
dimengerti walaupun bukan berarti untuk dimaklumi. Mungkin penonton bisa
terkoneksi, mungkin juga tidak. Cerita film ini seolah memunculkan
sesuatu yang apa adanya, bisa baik bisa buruk, sebagai konsekuensi dari
nasib.
Ending film ini memberi pertanyaan sekaligus
harapan. Menyelesaikan masalah sekaligus membuat masalah baru. Bahkan
masalah yang akan timbul potensial untuk dijadikan satu film sendiri.
Hable
con Ella adalah kombinasi film komersial dan film seni, objek diskusi
yang lezat bagi para apresiator maupun pembelajar film. Penerimaan
terhadap film ini bisa berbeda-beda: sangat suka atau tidak suka. Tapi
tetap saja sebagai sebuah karya film, Hable con Ella adalah produk yang
kumplit. Dan sebuah film bisa menjadi kumplit, tanpa harus menawarkan,
apalagi memaksakan suatu "pesan moral".
Bagi saya,
ritme film ini tidak terkoneksi dengan detak jantung dan irama sistem
pencernaan saya seperti banyak film HK tapi juga tidak sampai bikin
mual seperti sebagian film hollywood, atau bikin migrain seperti kebanyakan film korea. Film ini aneh. Tidak bikin sebal, juga tidak
bikin saya jatuh cinta, tapi sama sekali tidak membuat saya ingin
berhenti menontonnya. Bahkan ingin mengulangnya terus karena selalu
terasa ada yang perlu saya lebih pahami. Khususnya, saya terhibur dengan
penempatan musik. Dalam hal ini saya pikir Almodovar seperti Wong Kar
Wai, apalagi mereka pernah menggunakan satu lagu yang sama di film
masing2. Selera mereka dalam mengkombinasikan dan menempatkan musik,
lagu dan lirik dengan adegan dan ekspresi aktor2nya menjadikan film-film
mereka sebagai tontonan yang asik untuk diulang-ulang, khususnya di
bagian-bagian tertentu seperti sekedar menikmati video klip
No comments:
Post a Comment