Tuesday, April 29, 2008
Dream in Hell
Another great, deep, imaginative, perfect (if perfections exists in this world) and cinematic scene from The Book of Sandman by Neil Gaiman
Saturday, April 26, 2008
Dalam rangka Hari Bumi, atas kerinduan akan Disney's Classics
Kelestarian ala Disney
Dapatkah kita melukis dengan menggunakan warna–warna yang dimiliki angin dan bernyanyi dengan suara gunung? Menurut Pocahontas - putri kepala suku indian dalam film Pocahontas - manusia baru akan dapat “memiliki bumi” bila bisa melakukan kedua hal itu. Hal yang dianggap tidak mungkin, karena gunung adalah makhluk tak bernyawa - tak bersuara - dan angin merupakan gerakan udara yang tak berwarna.
Manusia tak akan dapat memiliki bumi. Benarkah demikian? Tentunya lagu Colors of the Wind yang dinyanyikan Pocahontas itu memiliki makna yang jauh lebih dalam. Memiliki bumi bukan berarti menguasainya, sehingga dapat mengklaim sepetak tanah beserta makhluk-makhluk dan sumber daya yang terkandung sebagai komoditas milik pribadi. Memiliki bumi seharusnya bermakna memahami setiap kehidupan di dalamnya, menghargai dan menjaga sambil mengambil manfaatnya. Seluruh alam ini adalah milik Tuhan, dan kita hanyalah salah satu komponen dari suatu sistem yang besar. Setiap makhluk di alam ini - bahkan benda tak bernyawa seperti karang dan gunung - memiliki jiwa dan nama sehingga patut untuk dihargai keberadaannya.
Begitu banyak yang tidak diketahui manusia, namun bisa dipelajari dengan menyimak segala isyarat dan pertanda alam. Dengan menyimak, kita bisa tahu bahwa angin bisa memiliki warna, seperti saat ia meniupkan pasir atau dedaunan, dan saat ia membawa kabut. Gerakan angin pun dapat dirasakan dan digambarkan memiliki pola dan arah. Gunung bersuara saat magma di dalamnya bergolak mengeluarkan suara gemuruh dan juga saat angin menghantam atau menyelusup pada celah-celah tebing dan gua. Bahkan, bunyi gema juga bisa diartikan sebagai suara gunung. Bukan kita yang membuat mereka berwarna atau bernyanyi. Kita hanya dapat mengamati dan menyimak. Dengan demikian, kita bisa melihat lukisan sesuai pola dan warna yang tampak dan menyenandungkan irama dari bunyi-bunyi yang kita dengar. Manusia yang mampu melakukannya berarti mampu menghargai dan mengagungkan anugerah Tuhan tersebut, sehingga tidak akan bertindak sebagai perusak.
Pada film ini, misi Pocahontas lebih mengarah kepada rekonsiliasi dua bangsa manusia. Kedamaian suku Indian dan alamnya terusik ketika orang Inggris datang untuk menduduki tanah Amerika. Dalam kehidupan di desa Pocahontas, digambarkan kaumnya masih sangat menyadari ketergantungan mereka kepada alam. Sebagai petani dan pemburu, mereka hidup selaras, seimbang mengikuti siklus alam sambil mensyukuri – pada roh agung yang mereka puja - apa yang dianugerahkan kepada mereka. Ketamakan dan keangkuhan yang dibawa pihak kolonial dikhawatirkan akan segera menghancurkan kelestarian alam tempat bergantung bangsa Indian. Namun, Pocahontas menyadari pentingnya keselarasan antara dua bangsa manusia tersebut. Saling curiga dan tidak saling memahami hanya akan menyebabkan perpecahan berkepanjangan dan kerusakan yang lebih parah lagi. Perdamaianlah yang diperjuangkan Pocahontas – antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam.
Tidak jauh berbeda dengan Pocahontas, tema film Bambi dan The Lion King menghadirkan konsep mengenai siklus alam dan lingkaran kehidupan. Setiap individu akan dilahirkan dan mati. Lalu, akan muncul lagi individu baru. Untuk menemukan atau menyadari peran dan posisi di dalam lingkaran itulah banyak yang akan dilalui dan diperjuangkan.
Dalam film Bambi, digambarkan siklus pergantian musim seiring perkembangan yang dialami Bambi. Ia tumbuh dewasa, menemukan pasangannya dan akan lahir ‘bambi’ kecil lagi. Demikian juga dengan Simba dalam The Lion King, ia menggantikan tempat ayahnya dan memiliki putra mahkota yang akan menggantikannya juga kelak. Dalam kehidupan manusia memang tidak sesederhana itu. Peran dalam kehidupan yang bisa dipilih sangat beragam, dan manusia memiliki begitu banyak obsesi. Namun, pada intinya, hal yang paling mendasar sebenarnya sama saja, yaitu meneruskan dan menjaga berlangsungnya siklus kehidupan di bumi sesuai takdir dan jatah waktu masing-masing.
Manusia di film Bambi hadir sebagai pihak perusak tanpa sosoknya yang terlihat. Kehadiran mereka diketahui dari suara tembakan yang membunuh Induk Bambi dan kebakaran hutan yang mereka timbulkan. Akibat dari ulah mereka yang ditampilkan disini mengingatkan kita bahwa seekor hewan pun akan merasa kehilangan ketika terpisah dari keluarganya. Dibandingkan dengan Bambi, film The Lion King lebih mempersonifikasi binatang-binatang tokohnya. Sama sekali tidak ada tokoh manusia di dalamnya. Namun, karakter manusia yang rakus disimbolkan pada tokoh Scar dan konco-konco hyenanya. Mungkin agak rancu melihat pencampuran sifat-sifat manusia dan hewan seperti di film ini. Bagaimana mungkin berbagai jenis binatang – herbivora, omnivora maupun carnivora - berkumpul untuk menyaksikan kelahiran pangeran singa, yang mungkin nantinya akan memangsa mereka. Tapi, hal ini menyimbolkan bahwa justru hewan-hewan dapat hidup harmonis dalam suatu ‘kesepakatan’ hukum rimba, yaitu bahwa setiap individu tidak boleh mengambil lebih dari apa yang bisa dia berikan. Kesepakatan yang akan mewujudkan keseimbangan sesuai dengan teori transfer energi dalam siklus rantai makanan. Ketika Scar cs berkuasa, negeri mereka mengalami kerusakan yang parah. Hal ini disebabkan terjadinya ketidak-seimbangan yang merusak seluruh sistem. The Jungle Book dan Tarzan lain lagi. Kedua kisah ini mengangkat kasus identitas dan jati diri manusia di antara spesies-spesies lain. Manusia yang tidak dibesarkan dengan manusia lain bisa saja bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Persahabatan yang terbina antara hewan dan manusia bisa tidak kalah kuat dari persahabatan antara sesama manusia. Tapi, bagaimana ketika Ia bertemu dengan spesiesnya sendiri? Ternyata begitu sulit untuk menyesuaikan diri di lingkungan yang seharusnya namun justru terasa begitu asing. Apalagi, ternyata manusia bisa menjadi musuh bagi hewan-hewan. Pada kedua film di atas, diangkat pemahaman bahwa keluarga hewan maupun manusia pada dasarnya sama: ada kasih sayang, perlindungan dan kepercayaan dengan naluri dan caranya sendiri. Manusia dapat memberikan kasih sayangnya untuk mengasuh dan membesarkan seekor hewan, demikian juga sebaliknya. Namun, banyak manusia serakah yang tidak menyadarinya sehingga merusak sistem yang harmonis itu. Manusia merasa berhak mendatangi dan mengusik kehidupan makhluk lainnya, bahkan sanggup membunuh seekor hewan hanya untuk mengambil satu bagian tubuhnya, atau menjadikan hewan – hidup ataupun mati - sebagai benda yang bisa dipamerkan. Manusia, hewan, dan tumbuhan sebagai bagian dari siklus alam. Sebuah nilai yang sangat mendasar dan perlu ditanamkan pada nurani setiap manusia. Film kartun merupakan media yang efektif untuk menyampaikan berbagai pesan dan nilai tersebut, dengan suatu kemampuan bertutur dan pengemasan yang baik sesuai target audiencenya. Pihak Disney – terlepas dari kasus orisinalitas maupun penyimpangan pada jalan cerita – memiliki caranya sendiri. Film-film kartun Disney’s Classic sampai sekarang diminati oleh penonton dari semua umur, dan tetap populer, terutama dikalangan anak-anak dan remaja. Dengan kisah-kisah menarik, drama, lelucon, keindahan gambar, terutama dengan musik dan lagu-lagunya, film-film ini berusaha mengetuk kesadaran manusia akan keselarasan, keseimbangan, siklus, dan perannya di atas bumi. Memang menyenangkan dan menyentuh, cara Disney… --Ramala Pualamsari-- 29 Jan 2003