Wednesday, July 18, 2018

Rien à Déclarer (2010)

Warna kulit sama, bahasa sama, rumah bertetangga, tapi dengan keberadaan satu garis membelah dua negara di sebuah kota perbatasan, ternyata warganya bisa saling anti, dalam suatu absurditas patriotisme dan rasisme.
Rien à Déclarer adalah film komedi  mengenai mereka yang terkorbankan dalam proses penyatuan Uni Eropa, pada sebuah kota perbatasan Belgia-Perancis. Antara masalah berkurangnya lapangan pekerjaan karena fungsi bea cukai yang dihilangkan di kota tersebut, juga bagaimana mereka semua harus saling menerima dan bekerja sama dan saling bertoleransi dengan warga dari negara tetangganya,terjalin dalam berbagai adegan komedi.
Imbas yang cukup besar terasa secara langsung bagi khususnya kedua tokoh utama film ini, Mathias dan Ruben yang keduanya merupakan petugas pabean di negara masing-masing. Terutama bagi Ruben yang merupakan Francophobe garis keras, penghapusan perbatasan cukup membuat dia nyaris frustrasi, ditambah lagi harus membuat tim gabungan dengan petugas Perancis. Sementara itu, Mathias yang diam-diam berhubungan asmara dengan adik Ruben berusaha membina hubungan yang lebih baik demi persetujuan keluarga Ruben.

Inilah film karya Dany Boon, disutradarai, ditulis dan diaktingi dirinya sendiri. Komedi yang terlihat sederhana tapi menurut saya sangat cerdas. Saya tidak tahu apakah selera komedi orang lain cocok dengan film ini. Saya sendiri belakangan cukup terbuka untuk berbagai jenis film hiburan. Banyak komedi Hollywood yang membuat saya cukup tertawa, walau saya sadar leluconnya sebetulnya "gak mutu" atau sering juga "jorok bin vulgar". Ya begitulah gaya hollywood. Bila ada energi lebih memang lebih baik mencari sumber hiburan lain.
"Rien à Déclarer" merupakan kombinasi yang serba cukup sebagai format komedi sambil memasukkan juga nilai-nilai kemanusiaan universal. Banyak leluconnya yang bersifat lokal , berkaitan dengan perbedaan logat yang digunakan antara kedua negara, dan istilah-istilah yang mereka gunakan termasuk yang digunakan untuk saling mengejek. Perlu dipastikan Subtitlenya yang bisa memfasilitasi ini. Kalau mengerti perbedaan logatnya tentunya akan terasa jauh lebih lucu. Tapi, meskipun tidak paham bahasa dan permainan kata-katanya, dengan ekspresi dan gerak tubuh aktor-aktornya cukup untuk menampilkan leluconnya.

Walau juga kadang agak lebay dan sedikit slapstick juga, ada beberapa momen perenungan yang sangat mengikat, merupakan inti "pesan moral" dari film ini. . Di tengah kekonyolan pertentangan manusia-manusia dewasa, perenungan filosofis film ini diungkapkan oleh seorang anak kecil. Walau mungkin bukan hal yang baru juga - mengingatkan saya pada film "le Papillon", adegan dialog Ruben dan anaknya merupakan momen yang sangat brilian, : 


*   What about the sky, papa,is it Belgian or French?
** The sky is Belgian. Anything above Belgium belongs to Belgium.
     See, borders go right to the top!
*   And the stars; are they Belgian?
** 'Course they're Belgian.
*   But papa, the earth turns.

**...............hmmmm

No comments: