Tadinya mau posting tulisan lama ini dalam rangka ikut menggaringkan hari Kartini dan isu-isu di belakangnya. Tapi ga penting, jadi ya mau apapun alasannya tetep aja diposting ah.. biarpun dah ketunda lama
PEKING OPERA BLUES
1984, HONG KONG. Starring Brigitte Lin, Cherie Chung, Sally Yeh, Wu Ma, Mark Cheung.
Directed by Tsui Hark.
Tersebutlah tiga orang wanita, tiga macam karakter dengan latar belakang dan impian masing-masing. Dalam waktu singkat, tanpa kesengajaan mereka saling mengenal dan menjadi tiga orang sahabat dengan satu tujuan yang sama.
Saat itu tahun 1913, dua tahun setelah keruntuhan kekaisaran Cina, kondisi politik masih tidak stabil. Para Jenderal di Peking berebut dominasi, dan Presiden saat itu - Presiden Yuan - memiliki maksud untuk menjadi penguasa permanen di negara itu dengan bantuan pihak asing.
Tsao Wan (Brigitte Lin) yang baru pulang dari sekolah di luar negeri adalah putri tunggal seorang Jenderal yang baru berkuasa di Peking di tengah gonjang-ganjing politik masa itu. Ia bergabung dengan kelompok gerilyawan revolusioner untuk membuktikan konspirasi yang dilakukan Presiden. Kunci dari misinya adalah mencuri sebuah dokumen penting dari tangan ayahnya sendiri, yang terlibat dalam konspirasi politik itu. Sheung Hung (Cherie Cheung) adalah anggota kelompok pemain musik keliling yang memanfaatkan kekacauan saat terjadi kudeta di istana jenderal untuk mencuri sekotak perhiasan, dan Pat Nell (Sally Yeh) adalah putri tunggal dari pemilik kelompok opera tradisional di Peking. Pat Nell yang dibesarkan bersama kelompok opera selalu ingin ambil bagian dari pertunjukan. Namun, ia harus mematuhi ayahnya yang selalu melarangnya dengan keras karena pada masa itu seorang wanita tidak boleh tampil di panggung –bahkan, menonton di gedung opera juga terlarang bagi wanita.
Berbagai kebetulan mempertemukan tiga wanita ini. Bersama seorang anggota golongan revolusioner, Pak Hoi (Mark Cheung), dan Tung Man --seorang mantan prajurit yang juga kebetulan bergabung— mereka saling membantu dalam pencurian dokumen penting itu. Tanpa sengaja, Sheung Hung dan Pat Nell ikut mengemban misi demokrasi yang dibawa Tsao Wan, sementara Tsao Wan juga membantu mereka dalam mewujudkan cita-cita pribadi mereka. Mereka sempat bertengkar hebat karena saling curiga, namun kembali saling menyelamatkan dalam misi yang penuh bahaya itu.
Film Peking Opera Blues mengangkat perjuangan dan keberanian dari para tokoh wanita untuk mewujudkan cita-citanya pada masa, tempat dan budaya yang begitu membatasi mereka.
Dalam segala keterbatasannya, ternyata wanita juga bisa memaksimalkan kekuatan dan kecerdasannya untuk mewujudkan tujuan.
Karakter pada ketiga tokoh mungkin terbentuk karena kehidupan yang lebih dekat dengan dunia pria. Tsao Wan dan Pat Nell adalah putri tunggal yang sudah tidak memiliki ibu, sehingga mereka banyak meneladani kehidupan ayahnya. Sheung Hung mungkin sudah lama hidup tanpa orang tua sehingga harus menjadi wanita yang mandiri untuk bertahan hidup di dunia yang dikuasai pria itu. Tsao Wan adalah tokoh dengan dilema paling berat karena mesti mengkhianati ayahnya demi cita-cita demokrasi. Walaupun begitu, ketiga tokoh wanita di sini tampil sama dominannya.
Ketiga pemeran tampil memikat untuk memunculkan karakter yang berbeda dari masing-masing tokoh yang sama-sama merupakan wanita kuat dan mandiri. Tsao Wan memiliki kecerdasan dan keteguhan untuk idealismenya, walau tampak sangat terguncang ketika menghadapi situasi pertentangan dengan ayahnya. Sheung Hung adalah wanita yang cerdik dan matre, karena keinginannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, tidak sekedar pemusik yang sering dilecehkan (oleh pria), sedangkan Pat Nell merupakan tokoh yang lebih polos dan tulus. Disamping mereka bertiga, penokohan untuk peran-peran kecil maupun tokoh antagonisnya pun tampil dengan karakter yang kuat.
Sempat terjadi main mata antara Sheung Hung dengan Tung Man, juga Pat Nell dengan Pak Hoi. Antara Tsao Wan dan Pak Hoi juga sekilas tampak ada ikatan emosional yang sepertinya membuat Pat Nell cemburu. Tetapi, permasalahan ini tidak dan memang tidak perlu diangkat lagi. Tampaknya mereka --dan juga penonton-- tidak punya waktu untuk mengurus kisah cinta. Kesetiakawanan dan kepercayaan diantara mereka berlima sudah cukup untuk keberhasilan misi yang diemban bersama.
Gedung pertunjukan opera merupakan lokasi pusat konflik di film ini, karena merupakan tempat yang sangat penting bagi para tokoh. Gedung itu menjadi tempat menjalankan beberapa strategi, juga sebagai tempat bersembunyi dan menyamar menjadi aktor di panggung ketika menghindari sekelompok petugas yang hendak menangkap mereka. Berbagai kekacauan terjadi di sini, mulai dari kacaunya pertunjukan sampai rusaknya gedung opera akibat pertarungan.
Dalam film ini kita disuguhi beberapa pementasan opera tradisional yang tampak begitu meriah, dengan setting dan kostumnya yang lengkap. Adegan-adegan dan karakter di film ini juga sebenarnya banyak mengandung aspek simbolik yang terkandung pada berbagai pertunjukan opera Cina. Ketiga tokoh wanita mencermikan karakter prajurit wanita dari opera Dao Ma Dan , dan banyak lagi simbolisasi lain.
Banyak komedi, drama dan berbagai ketegangan dihadirkan film karya Tsui Hark ini. Penonton seolah terus digerakkan dengan berbagai adegan yang tak pernah kehilangan irama dan tanpa satu momen pun yang pantas untuk disia-siakan. Banyak adegan menampilkan hal-hal tidak terduga, termasuk gaya berkelahi yang unik dengan aksi-aksi spektakuler yang menjadikannya tontonan action yang segar dan khas. Di samping itu ada juga beberapa adegan kekerasan yang menggetirkan.
Bila Tsao Wan melihat situasi di kenyataan masa sekarang, mungkin ia bisa berbangga karena wanita sudah banyak yang terjun ke politik dan memperjuangkan demokrasi serpti dirinya. Di samping itu, ia juga bisa sangat sedih karena masih banyak perjuangan para wanita dibalas dengan kekerasan dan pelecehan. Hal demikian juga mungkin dirasakan Pat Nell dan Sheung Hung
Ketika Pat Nell dan Sheung Hung tampil di panggung, seorang Jenderal penguasa yang menontonnya terpikat dan menginginkan mereka menemaninya pada malam hari. Menghadapi hal ini, ayah Pat Nell berkomentar: “..kalau wanita mulai bekerja, hal seperti ini pasti terjadi…”. Dengan pernyataan ini, mungkin dari sanalah muncul alasan yang kuat untuk melarang wanita bekerja, terutama untuk tampil di panggung. Apapun alasannya tampil, mereka hanya akan dipandang sebagai objek oleh pria. Sekarang, wanita memiliki kebebasan bekerja, bahkan menjadi bintang pentas, baik untuk mengekspresikan dirinya, menghibur penonton dan entah tujuan apa lagi dengan penampilan yang semakin berani. Mudah-mudahan, kaum pria sekarang sudah bisa tahu diri, atau para wanita yang tampil sadar apa yang mereka pertontonkan.