Tuesday, July 20, 2004

Pohon



Penjual minyak tanah itu memberhentikan gerobaknya di depan pagar rumah saya. Tentu saja bukan untuk menjual minyak tanah karena rumah saya sudah lama memakai kompor gas.
Sempat saya berpikir, kenapa? Kenapa sering ada penjual keliling yang berhenti sejenak, bahkan kadang ada sepeda motor atau vespa yang parkir atau memeriksa kemungkinan rusak di depan rumah saya. Baru kemudian saya sadari betapa tololnya pemikiran itu, karena tentu saja alasan mereka berhenti di sana adalah karena... naungan pohon mangga di halaman yang meneduhi sebagian jalan depan rumah.

Bertahun-tahun lalu, hampir sepanjang kecil yang hanya dapat dilewati satu jalur mobil tempat rumah saya berdiri tampak bayang-bayang pohon yang meneduhi jalan dari halaman-halaman rumah. Lalu, pada suatu periode entah kenapa seolah sedang musimnya, para pemilik rumah menebangi pohon di halamannya. Alasannya: Hama? Akarnya merusak fondasi? Sampah daun yang terlalu banyak? Atau rumah yang menjadi gelap. Sekitar masa itu juga pohon mangga yang telah memberikan buah mangga terlezat seumur hidup saya terpaksa di tebang, karena pohon itu mati, akibat kesalahan penanganan. Untunglah, kami memiliki "anak"nya, hasil tanam biji buah mangga dari pohon tersebut yang sampai kini meneduhi halaman rumah saya walau tidak memberikan buah sebanyak dan selezat induknya.

Beberapa tetangga saya yang dulu menebang pohonnya juga memiliki pohon baru, tapi letaknya kini tidak lagi menaungi jalan, dan mereka dengan rajin memangkas pohonnya agar tidak terlalu luas percabangannya. Tapi, semakin banyak tetangga yang menebang pohonnya, memajukan tembok rumahnya, atau menyemen/ mempaving habis halaman untuk parkir kendaraan. Bagi mereka, mungkin lebih indah melihat tanaman-tanaman kecil di dalam pot dengan bunga warna-warni dan halaman yang bersih ketimbang pohon raksasa yang setiap hari daunnya harus disapu dari jalan dan membuat rumah gelap. Salah mereka sendiri tidak membuat sistem rumah yang mampu memasukkan sinar matahari sebanyak kebutuhan, dan mungkin mereka juga tidak tahu betapa sangat kecilnya persentase air yang terserap oleh tanah di bawah paving block. Bisa dianggap tidak berarti.

Jalan depan rumah saya selalu besih. Tetangga sebelah-yang kebetulan rumah ketua RT tidak pernah rela membiarkan jalan kebanggaan terkotori oleh daun-daun kering dan menyapunya ke dalam halaman saya. Saya tidak memintanya, sebelum sempat menyapunya tahu-tahu sudah bersih. Sesuka merekalah, tapi tentu saja saya berterima kasih. Namun mungkin mereka jadi senewen melihat daun-daun itu lama berserakan di halaman, karena bagi saya itu lebih indah daripada halaman semen yang bersih.

Dalam rute menuju jalan raya dari daerah rumah saya, ada suatu perempatan, dan di sudut jalan ada dua rumah yang berseberangan. Kavling sudut. Area yang sangat strategis. Luas dan.. komersil. Kedua rumah itu tentu saja memanfaatkannya. Kos-kosan, toko, warung nasi, bahkan yang satu membuat kios-kios sewa sehingga sektor komersil yang terdapat di sana lebih bervariasi, termasuk wartel dan toko komputer. Walaupun bangunan depannya tidak permanen, tetap saja letaknya begitu maju sampai ke sempadan nol meter dari jalan dengan lantai full semen/ paving. Sepanjang jalan yang sangat strategis menuju jalan raya itu pun semakin banyak rumah yang memiliki fungsi seperti kedua rumah yang saya sebutkan tadi. Bukan itu saja, bahkan pohon-pohon yang ada di pinggir jalan (yang tentu saja bukan milik mereka) di tebang. Sepertinya karena daunnya mengotori atap bangunan komersil tersebut, dan tentu saja aktivitas menyapu atap tidak ada dalam jadwal bisnis mereka. Satu batang pohon mati di sudut jalan yang dibiarkan tetap tinggi, kini dipakai sebagai tiang untuk menempel / memaku pengumuman. Sangat "bermanfaat".

Apa benar rimbun dedaunan hijau pada pohon-pohon besar tidak memiliki keindahan, dan berarti tidak memiliki nilai apapun? Sepetak tanah untuk wartel/ untuk parkir kendaraan lebih bernilai daripada sepetak tanah resapan air dan sebatang pohon peneduh penyuplai oksigen. Apa artinya dan ke mana peraturan-peraturan tata kota mengenai Koefisien dasar Bangunan? Koefisien Daerah Hijau, garis sempadan dan sebagainya?

SMAN 3 Bandung, almamater tercinta, bangunan tua dengan rimbun pepohonan tua kini sudah berubah wajah. Agar tampak lebih "indah" atau "mewah" (?) Halaman depannya yang dulu seperti hutan, kini seperti taman gantung babilonia dengan berbagai tanaman hias, pohon palem berjajar, dan Jangan lupa! air mancur nan megah nian dengan bentuk tidak keruan. Pohon-pohon besar yang ditebangi kini tinggal tunggulnya yang menjadi "monumen" di tengah taman seperti sculpture artistik yang sengaja ditempatkan di sana. Jadi, tunggul pohon lebih indah daripada pohon hidup yang berdiri kokoh. Memang di sekeliling taman ditanami pohon peneduh yang masih kecil. Tapi area tengah taman itu tidak akan menjadi teduh di bawah naungan pohon palem sebesar apapun. Taman kecil di samping, di sisi jalan kalimantan yang tadinya berisi pohon-pohon kecil yang cukup teduh, telah berubah. Ternyata bukan berganti bangunan seperti yang tadinya saya khawatirkan sat penebangan. Tetap taman kecil, tapi menjadi taman cemara, pohon dengan bentuk yang memang indah, hijau, tapi sangat tidak cukup untuk meneduhi lingkungannya. Seperti di jalan pahlawan menuju cikutra, dengan jalur hijau yang indah, cobalah turun dari angkutan kota siang bolong di lokasi tersebut. Betapa sengsara!

Tidak perlu lagi dibahas pembangunan jalan layang ajaib Pasupati yang menyulap jalan Pasteur-Cikapayang-Surapati menjadi seperti planet asing.

Kini setiap melihat sebatang pohon, atau menikmati jalan yang teduh di Bandung yang dulu punya niat jadi Berhiber ini, saya berpikir.. sampai kapan pohon-pohon ini ada di sini?

1 comment:

Anonymous said...

Testingggg